Headlines News :

BLOG PRIVACY

MOHON MAAF JIKA PORTAL INI TIDAK BERISI KONTEN PORNOGRAFI KARENA DI DALAM BLOG INI HANYA BERISI PENGETAHUAN YANG MUNGKIN ANDA HARAPKAN
Home » » Perang

Perang


1.      1.  Pengertian Perang
Perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik antara dua kelompok atau lebih untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan.  Perang secara purba dimaknai sebagai pertikaian bersenjata, di era modern, perang lebih mengarah pada superioritas teknologi dan industri, hal ini tercermin dari dokrin angkatan perangnya seperti “Barangs siapa menguasai ketinggian maka menguasai dunia”,  hal ini menunjukkan bahwa penguasaan atas ketinggian harus dicapai oleh teknologi.  Namun kata perang tidak lagi berperan sebagai kata kerja, namun sudah bergeser pada kata sifat, yang mempopulerkan hal ini adalah para Jurnalis, sehingga lambat laun pergeseran ini mendapatkan posisinya, namun secara umum perang berarti “pertentangan”. (http://www.wikipedia. ensiklopedia.bahasa. indonesia.com)
Analisa sosiologi mengenai dampak politik sebuah peperangan relatif sangat sedikit, kendatipun ia sangat bermanfaat dalam perkembangan masyarakat.  Beberapa sosiologi dulu kala telah memandang perang sebagai sarana dengan mana langkah besar pertama perluasan masyarakat manusia dicapai, sedang para sosiologi yang berikutnya telah memandang hal tersebut sebagai faktor utama dalam pembentukan negara itu sendiri.  Cukup jelas bahwa perang telah berlanjut sebagai suatu faktor penting dalam proses perluasan dan pengokohan kekuatan negara.  Dalam semua eriode sejarah yang telah dicatat, tertib politik di dunia ini secara keseluruhan sebagian besar merupakah hasil dari penaklukan dan pendirian kerajaan, pertempuran militer demi kemerdekaan nasional, dan konflik antar dinasti, kerajaan ataupun negara bangsa. (Tom Bottomore dalam terjemahan Simamore S, 1992: 85)
Perang telah sering menimbulkan lahirnya bangsa-bangsa baru, seperti halnya Perang kemerdekaan Amerika dan sejumlah peperangan lainnya demi kemerdekaan nasional atau unifikasi, baik yang sudah terjadi maupun di kemudian hari.  Atau perang dapat pula mengakibatkan runtuhnya sebuah sistem politik lama seperti halnya perang dunia I yang telah pernah menghancurkan Kerajaan Habsburg, dan perang dunia II yang telah meruntuhkan rezim Sosialis Nasional di Jerman dan rezim Fasis di Italia. 
Penaklukan dan pertumbuhan kerajaan telah menciptakan unit-unit politik yang lebih besar, dan bahkan setelah keruntuhannya ia dapat meninggalkan sisa yang lebih langgeng yang terdiri dari unsur-unsur peradaban tertentu dalam bentuk sedemikian rupa.  Dalam peperangan yang bersifat tidak langsung, dan khususnya penaklukan dalam perang, dapat merupakan suatu faktor utama dalam melahirkan perubahan-perubahan politik, dengan menghasilkan kondisi-kondisi yang mendukung keberhasilan sebuah revolusi internal. 
Dengan tumbuhnya masyarakat perang telah cenderung meningkat baik dalam skala maupun intensitasnya, yang mencapai puncaknya dalam periode tertentu.  Perang merupakan suatu faktor yang seluruhnya otonom di dalam sirkulasi kehidupan politik.  Jelasnya, perang merupakan salah satu sarana kebijakan oleh kondisi sosial dan budaya.  Berbagai teori tentang peperangan telah mencoba menjelaskan asal mula, skala dan intensitasnya dari segi pengaruh-pengaruh tersebut, dan dalam hal perang modern pemikir-pemikir Marxis telah membuat perbedaan antara perang yang bersumber dari persaingan imperialis, yaitu perang yang timbul dari konflik antara negara-negawa sosialis dan kapitalis, dan perang kemerdekaan anti kolonial, sedangkan teoritis sosial lainnya telah menitikberatkan perhatiannya pada kekuatan nasionalisme dan persaingan antar negara bangsa negara mengatakan bahwa kepentingan nasional dapat menimbulkan konfrontasi militer dan penggunaan angkatan bersenjata termasuk di negara-negara sosialis.  (Tom Bottomore dalam terjemahan Simamore S, 1992: 87)
2.      Penyebab terjadinya perang
Secara spesifik dan wilayah filosofis, perang merupakan turunan sifat dasar manusia yang tetap sampai sekarang memelihara dominasi dan persaingan sebagai sarana memperkuat eksistensi diri.  Dengan mulai secara psikologis dan fisik.  Dengan melibatkan diri sendiri dan orang lain, baik secara kelompok atau bukan.  Perang dapat mengakibatkan kesedihan dan kemiskinan yang berkepanjangan.
Perbedaan individu yang unik, artinya setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya.  Pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik.  Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya.  Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik. (Tom Bottomore dalam terjemahan Simamore S, 1992: 88)
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda.  Oleh sebab itu, dalam waktu bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda.  Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.  Dalam hal ini perubahan acap kali terjadi, dimana perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.  Perubahan-perubahan ini juga terjadi secara cepat atau mendadak akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada. 
Apapun yang menjadi faktor bentuk utama penyebabnya, perang itu sendiri jelas merupakan salah satu bentuk utama konflik politik, dan bahwa perang mempunyai konsekuensi politik yang penting dan berakibat jauh.  Bahkan lebih dari peperangan sosiolog politik telah cenderung mengabaikan pengaruh yang lebih hakiki, yang mempengaruhi perubahan politik.  Sepanjang masalah suksesi generasi dimasukkan sebagai pertimbangan analisa utama yang digunakan tetap analisa.
Manhein dalam Tom Bottomore (terjemahan Simamore S, 1992: 88) mengemukakan bahwa:
Fakta yang tergolong ke dalam kelas yang sama, dan fakta yang tergolong ke dalam generasi yang sama atau kelompok usia, secara umum mempunyai hal ini, bahwa keduanya membebani individu yang mendapatkannya dengan suatu posisi umum di dalam proses sosial dan sejarah, dan karenanya membatasi mereka dari pengalaman potensial tertentu membekali mereka suatu cara pikir dan pengalaman tertentu, dan jenis khas aksi yang relevan secara historis. 

Penonjolan utama yang diberikan pada perbedaan antar generasi, dan kemungkinan bahwa kelompok generasional yang terorganisir akanterbentuk, tergantung pada kondisi-kondis sosial lainnya.  Penggantian suatu dinasti atau kelompok penguasa lainnya telah seringkali disertai dengan pembunuhan politik atau bentuk-bentuk kekerasan lainnya, namun tanpa menghasilkan suatu perubahan fundamental dalam sistem politik, dan akibatnya terhadap masyarakat secara keseluruhan masih sangat bersahaja.
3.      Konflik yang Menimbulkan Perang
Konflik adalah sebuah gejala sosial yang selalu ada di dalam setiap masyarakat, yang berarti konflik tidak bisa dihilangkan.  Tapi konflik bila dibiarkan berkembang tanpa kendali dapat merusak masyarakat dan negara/bangsa sehingga harus diambil tindakan-tindakan nyata yang mampu menyelesaikan konflik, sehingga tidak timbul dampak negatif dari konflik. (Rauf M, 2001: 42)
Duverger dalam Rauf M (2001: 49) mengemukakan bahwa konflik dapat ditimbulkan oleh sifat-sifat pribadi dan karakteristik kejiwaan yang dimiliki oleh individu.  Ia membagi faktor penyebab pada tingkat individu ke dalam bakat-bakat individual dan sebab-sebab psikologis.  Faktor penyebab kolektif terdiri dari tiga, yaitu perjuangan kelas, isu-isu rasial, dan konflik antara kelompok horizontal.
Koentjaraningrat (1998: 148) mengemukakan bahwa:
Konflik merupakan salah satu bentuk iteraksi manusia sama halnya dengan kerjasama dan persaingan.  Konflik tumbul karena adanya perbedaan kepentingan antara satu pihak dengan pihak lain, makanya setiap ada hubungan antara dua manusia atau lebih ada saja peluang terjadinya konflik.  Untuk itu dalah kehidupan organisasi dimana terdapa manusia dengan beraneka ragam latar belakang perbedaan baik dari segi jenis kelaimn, usia, pendidikan, suku, adat, agama, keluarga kepribadian dan sebagainya, menjadikan konflik tidak bisa dihindari.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya konflik sosial, karena adanya perbedaan sumber penghidupan atau mata pencaharian, adanya pemaksaan unsur-unsur kebudayaan dari suku bangsa lain,adanya fanalistik, adanya dominasi dari salah satu suku bangsa, dan adanya permusuhan atanr suku secara adat. (Sadila, 1997: 5)
Setiap suku bangsa atau kelompok manusia mempunyai potensi bagi terciptanya konflik sosial, sebab setiap manusia dalam suatu kelompok mempunyai kecenderungan untuk berinteraksi dengan manusia lain di dalam kelompoknya maupun yang berada di luar kelompoknya.  Pada saat berinteraksi inilah konflik sosial dapat terjadi, karena adanya perbedaan kepentingan dan pandangan dari masing-masing pihak yang beriteraksi tersebut.  Hanya saja besar kecilnya konflik sosial yang terhadi sangat ditentukan bagaimana cara kelompok atau suku bangsa tersebut memandang perbedaan-perbedaan yang terjadi.
Penyebab konflik menunjukkan bahwa konflik kelompok dapat pula ditimbulkan oleh bakat-bakat individual, di samping, tentu saja merupakan penyebab terjadinya konflik pribadi.  Tidaklah mengherankan bila sebab-sebab individual seperti kecenderungan berkompetisi atau selalu tidak puas terhadap pekerjaan orang lain dapat menyebabkan orang yang mempunyai ciri-ciri seperti selalu terlibat konflik dengan orang lain dimana pun ia berada.  Yang menjadi masalah adalah bila bakat-bakat individual seperti itu menimbulkan konflik kelompok karena konflik kelompok menghasilkan dampak yang jauh lebih besar dibandingkan dengan konflik pribadi.  Oleh karena itu sifat-sifat pribadi seseorang dapat saja menimbulkan konflik politik bila orang tersebut adalah pimpinan atau orang yang berpengaruh di dalam kelompoknya. Duverger dalam Rauf M (2001: 49)
Salah satu akibat perang yang sering terjadi adalah perang saudara dimana bukan dua atau lebih negara yang menjadi kubu yang berlawanan, namun beberapa fraksi (saudara) di dalam sebuah entitas politik.  Dalam bahasa Inggris perang saudara disebut civil war yang secara harafiah artinya adalah “perang warga sipil” atau “perang madani”. Tidak jarang sebuah perang saudara merupakan tanda awal perpecahan sebuah entitas politik.
Terjadinya perang saudara disebabkan adanya konflik yang tidak dapat menemukan titik penyelesaian.  Konflik berasal dari kata kerja configure yang berarti saling memukul.  Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.
Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.  Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi.  Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.  Dengan dibawah sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. (http://www.wikipedia.ensiklopedia.bahasa.indonesia.com)   
Kerawanan atau potensi konflik yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah terletak pada kemajemukannya itu sendiri, yakni yang terdiri dari berbagai suku bangsa, budaya, agama, dan golongan, sehingga dalam proses bermasyarakat dapat saja terjadi gesekan-gesekan yang mempengaruhi integritas nasional.
4.      Peran Tradisional
Boleh dikatakan bahwa perang, dalam taraf tertentu, merupakan hiburan bagi kaum lelaki, juga merupakan medan untuk menguji kejantanan para pemberani (to-warani).  Untuk menampakkan keperkasaan mereka, para bangsawan pria biasanya diberi nama yang membangkitkan rasa takut yang tak tergoyahkan.  Alat yang digunakan dalam perang adalah sumpit (seppu) dengan anak panah beracun, tombak (bessi), pedang pendek (alameng), dan senjata penikam (gajang).  Keris (tappi), yang mungkin mulai digunakan di kemudian hari, jelas mengacu kepada pengaruh Sumatra atau Tanah Melayu, karena keris Sulawesi Selatan jauh lebih mirip keris Melayu daripada keris Jawa.  Suatu kekecualian dapat ditemukan pada bagian gagang beberapa keris berpangkal emas yang terukir berbentuk manusia yang menyerupai dewa Hindu salah satu diantaranya disebut sebagai “dewa Mandu”.  Dalam berbagai eposode disebut juga pemakaian semacam meriam kecil (ballilia, pana guttu).  Senjat tersebut tampaknya digunakan bukan untuk melontarkan peluru, hanya bunyinya yang dipakai untuk mengejutkan dan menakut-nakuti musuh.
La Galigo menggambarkan terjadinya peperangan yang disulut oleh hal-hal kecil atau yang dipicu oleh dendam pribadi, misalnya karena merasa dihina, akibat perselisihan dalam arena sabung ayam,dan lain sebagainya.  Hal yang sama juga tersirat dalam cerita tentang tunduknya raja yang kalah kepada raja yang lebih kuat, dan pembagian berbagai titik strategis wilayah ini diantara tiga kerajaan utama Sulawesi Selatan, yang mengisyaratkan adanya persaingan politik di kalangan mereka sendiri.  Penekanan pada pertempuran laut, baik antar raja Bugis atau melawan “bajat laut”, menunjukkan pentingnya supremasi di laut untuk mengendalikan perdagangan.
Pada masa La Galigo perang suku yang dilakukan untuk mengayau kepala musuh guna keperluan upacara tidak lagi berlangsung, meskipun kepala musuh yang terbunuh masih dipenggal untuk memastikan ‘kematiannya” atau mungkin untuk melindungi diri agar tidak diganggu oleh roh mereka. Perlakuan lain dengan maksud sama, adalah memakan hati musuh sesudah dijadikan lawar.  Satu lagi perlakuan dengan tujuan sama adalah mencincang halus tubuh musuh yang dibunuh, kemudian memberikannya kepada anjing untuk dimakan”.
Dalam perang, keberanian tampaknya lebih dikedepankan daripada strategi, seperti terlihat dari lebih banyaknya pertempuran frontal daripada pertempuran terencana.  Meski pertempuran satu lawan satu kadang disebut, bangsawan peminpin perang jarang terlibat langsung dalam pertempuran.  Dia biasanya hanya duduk di bawah payung kerajaan di suatu tempat, yang lebih tinggi dan relatih aman, dekat medan pertempuran, untuk mengamati peperangan dari jauh.  Jika dia dikepung musuh da payung kerajaannya direbut, berarti dia berada di ambang kehancuran. Jalan terakhir menghadapi ancaman seperti itu adalah mundur ke kapal yang ditambatkan di pantai. 
Share this article :

0 Komentar:

CARI

< Letakkan disini kode Shoutbox Anda>

Artikel Populer

 
Support : Creating Website | Ekhardhi Design | Ekhardhi Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. @ekhardhi - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Ekhardhi Design