Headlines News :

BLOG PRIVACY

MOHON MAAF JIKA PORTAL INI TIDAK BERISI KONTEN PORNOGRAFI KARENA DI DALAM BLOG INI HANYA BERISI PENGETAHUAN YANG MUNGKIN ANDA HARAPKAN
Home » » Landasan Filosofis dan Asas-Asas Pemungutan Pajak

Landasan Filosofis dan Asas-Asas Pemungutan Pajak

A.    Landasan Filosofis Pemungutan Pajak
Tugas negara pada prinsipnya berusaha dan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Itulah sebabnya maka negara harus tampil ke depan dan turut campur tangan, bergerak aktif dalam bidang kehidupan masyarakat, terutama dibidang perekonomian guna tercapainya kesejahteraan umat manusia.
Untuk mencapai dan menciptakan masyarakat yang sejahtera, dibutuhkan biaya-biaya yang cukup besar. Demi berhasilnya usaha ini, negara mencari pembiayaannya dengan cara menarik pajak. Penarikan atau pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang harus dilaksanakan oleh negara sebagai suatu fungsi esensial. Memang dibeberapa negara yang sudah maju, pajak sudah merupakan suatu conditiesine qua non bagi penambahan keuangan negara. Tanpa pemungutan pajak sudah bisa dipastikan bahwa keuangan negara akan lumpuh lebih-lebih lagi bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia, atau negara yang baru bebas dari belenggu kolonialis pajak merupakan darah bagi tubuh negara.
Atas dasar uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis pemungutan pajak didasarkan atas pendekatan “Benefit Apoprouch” atau pendekatan manfaat. Pendekatan ini merupakan dasar fundamental atas dasar filolosofis yang membenarkan negara melakukan pemungutan pajak sebagai yang dapat dipaksakan dalam arti mempunyai wewenang dengan kekuatan pemaksa. Pendekatan manfaat (benefit approuch) ini mendasarkan suatu falsafah: oleh karena negara menciptakan manfaat yang dinikmati oleh seluruh warga negara yang berdiam dalam negara, maka negara berwewenang memungut pajak dari rakyat dengan cara yang dapat dipaksakan.
Bentuk manfaat yang bisa dinikmati oleh warga negara  adalah : kesejahteraan, pelayanan umum, perlindungan hukum, kebebasan, penggunaan fasilitas umum, seperti : pelabuhan, jalanan, jembatan, tempat-tempat hiburan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan manfaat tersebut.
Penyediaan jasa atau fasilitas-fasilitas umum tidak mungkin dapat dikerjakan sendiri oleh pihak per orangan sebagai pelopor dalam mewujudkan atau menciptakan kesejahteraan untuk seluruh warganya.
Di dalam literatur ilmu keuangan negara, kita temukan teori-teori yang memberikan dasar pembenaran atau landasan filosofis daripada wewenang negara untuk memungut pajak dengan cara yang dapat dipaksakan. Teori-teori tersebut adalah:
  1. Teori asuransi
Menurut teori ini; negara  dalam melaksanakan tugasnya/ fungsinya, mencakup pula tugas perlindungan terhadap jiwa dan harta benda perseorangan. Oleh sebab itu, negara bekerja atau bertindak sebagai perusahaan asuransi. Untuk perlindungan itu, warga negara membayar premi dan pembayaran pajaklah yang dapat dipandang sebagai premi itu. Teori ini sudah lama ditinggalkan, dan sekarang praktis tidak ada lagi pembelanya, sebab negara tidak mengganti kerugian  bila timbul kerugian  atas orang-orang yang bersangkutan, misalnya dibunuh atau hartanya dicuri.
  1. Teori kepentingan
Menurut teori ini pajak itu mempunyai hubungan dengan kepentingan individu yang diperoleh dari pekerjaan negara. Makin banyak mengenyam atau menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, makin besar juga pajaknya. Teori ini meskipun  masih berlaku pada retribusi, tetapi sulit diterima sebab  orang miskin dan penganggur yang memperoleh bantuan dari pemerintah, menikmati atau menganyam banyak  sekali jasa dari pemerintah, menikmati atau mengenyam banyak sekali jasa dari pekerjaan  pemerintah dan mereka bahkan disebabkan membayar pajak.
  1. Teori kewajiban pajak mutlak (teori pengorbanan)
Teori ini berpangkal tolak dari ajaran organik kenegaraan (Organische Staatsleer) dan berpendirian  bahwa tanpa negara maka individu tidak mungkin bisa hidup bebas berusaha dalam negara. Oleh karena itu, negara mempunyai hak  mutlak untuk memungut pajak. Tanpa negara, maka individu pun tidak ada, dan pembayaran pajak oleh individu kepada negara adalah dipandang sebagai tanda pengorbanan atau tanda baktinya kepada negara.
Teori ini terlalu menitikberatkan kepada negara yaitu seolah-olah individu itu tidak dapat hidup tanpa negara, tetapi negara dapat hidup tanpa individu. Padahal realitasnya tidak demikian, sebab negara pun tak mungkin hidup/ ada tanpa individu.
  1. Teori gaya beli
Teori ini mengajarkan : bahwa fungsi pemungutan pajak, jika dipandang sebagai gejala dalam masyarakat disamakan dengan POMPA, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara dan kemudian menyalurkan kembali ke masyarakat dengan tujuan untuk memelihara hidup masyarakat atau untuk kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Teori ini banyak penganutnya, karena kepraktisannya. Teori ini berlaku sepanjang masa baik dalam ekonomi liberal, bahkan juga dalam masyarakat sosialistis, meskipun tidak luput dari variasi-variasi dalam coraknya. Teori ini tidak mempersoalkan asal mula negara memungut pajak, melainkan hanya melihat kepada “efek” yang baik sebagai dasar keadilan pemungutan pajak dan bukan kepentingan individu, maupun bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya. Dengan demikian teori ini menitikberatkan kepada fraksi kedua dari fraksi pajak, yaitu fraksi mengatur (regulerend).
  1. Teori gaya pikul
Teori ini mengajarkan: bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan kekuatan membayar dari siwajib pajak (individu). Tekanan semua pajak-pajak harus sesuai dengan gaya pikul si wajib pajak dengan memperhatikan pada besarnya penghasilan dan kekayaan, juga pengeluaran belanja wajib pajak tersebut. Gaya pikul ini dipengaruhi oleh bermacam-macam komponen, terutama :
1.      Pendapatan
2.      Kekayaan dan
3.      Susunan dari keluarga wajib pajak dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi keadaannya.
Prof. W. J. de Langen, memberikan arti dari gaya pikul sebagai berikut: gaya pikul adalah kekuatan untuk membayar uang kepada negara, jadi untuk membayar pajak, setelah dikurangi dengan minimum kehidupan (basic needs). Minimum kehidupan atau kebutuhan dasar (basic needs) adalah hal yang pokok dan tidak bisa ditunda-tunda. Basic needs ini seperti: makan, pakaian, perumahan dan biaya pendidikan.
AJ. Cohan Stuart, mengemukakan bahwa gaya pikul adalah sama dengan sebuah jembatan, yang pertama-tama harus dapat memikul bobotnya sendiri, sebelum dicoba untuk dibebaninya dan menyerahkan ajaran, bahwa yang sangat diperlukan untuk kehidupan harus tidak dimasukkan dalam pengertian gaya pikul. Kekuatan untuk menyerahkan uang kepada negara barulah ada, jika kebutuhan-kebutuhan primer untuk hidup telah tersedia. Hak manusia yang pertama adalah hak untuk hidup, maka sebagai anasir yang pertama yang harus diperhatikan adalah minimum kehidupan (bestaan minimum).
Teori-teori di atas merupakan pemecahan atas dasar menyatakan keadilannya pemungutan pajak oleh negara, sehingga para ahli dibidang keuangan negara khususnya dibidang perpajakan menamakannya sebagai asas menurut falsafah hukum, yang  oleh Adam Smith dimasukkan dalam maxim pertama dalam ajarannya “The Four Mamxims” (empat aksioma/ asas dalam pemungutan pajak).
Meskipun demikian, beberapa prinsip/ asas telah berhasil juga dikembangkan sepanjang masa sehingga memberikan suatu kerangka yang dapat digunakan sebagai kriteria-kriteria sistem perpajakan yang adil. Prinsip atau asas ini ialah antara lain, prinsip atau asas manfaat dan asas kemampuan membayar.
Prinsip manfaat, salah satu tujuan kegiatan pemerintah pada masyarakat adalah menciptakan manfaat dapat dinikmati oleh seluruh warga negara, baik sebagai konsumen maupun  produsen. Apabila manfaat yang diterima masyarakat/warga negara dirasakan besar, maka warga negara akan bersedia untuk membayar manfaat tersebut juga dalam jumlah yang besar. Pembayaran tersebut bukan saja dalam bentuk uang seperti pembayaran pajak, tetapi bahkan melebihi dari itu seperti: rasa cinta tanah air, rasa ingin berkorban untuk nusa dan bangsa.
Pemerintah memberikan pulic service (pelayanan jasa) kepada warganya baik secara perorangan maupun secara kolektif, dan warga negara memberikan kontraprestasi berupa uang dalam bentuk pembayaran pajak kepada pemerintah. Pemberian jasa oleh pemerintah kepada warganya yang dirasakan besar manfaatnya,akan menimbulkan rasa kesadaran yang tinggi untuk mengabdi kepada negara. Rendahnya kesadaran warga negara untuk membayar pajak kepada negara banyak ditentukan oleh sejauh mana rakyat dapat mengenal dan menikmati manfaat jasa-jasa dari negara. Jasa-jasa dari negara seperti: jaminan keamanan/ ketertiban, pelayanan yang memuaskan sewaktu warga negara mengurus kepentingannya yang berhubungan dengan hak-hak perdatanya seperti mengurus kartu penduduk dan surat keterangan lainnya.
Bilamana pemerintah kurang memperhatikan pelayanan yang baik terhadap warganya, maka warga negara/ rakyat akan berkurang juga kesadarannya untuk memberikan kontraprestasi kepada negara dalam bentuk pembayaran pajak.
Menikmati jasa atau manfaat dari negara sangat erat kaitannya dengan tingkat kesadaran dari rakyat untuk membayar pajak. Kesadaran membayar pajak merupakan salah satu aspek atau bagian kesadaran berwarga negara.  Apabila kesadaran berwarga negara tinggi maka berarti pula moralitas perpajakan adalah juga tinggi. Kesadaran membayar pajak juga dipengaruhi oleh efisiensi dan efektivitas kegiatan pemerintah. Apabila dalam melaksanakan kegiatan pemerintah atau dalam menggunakan uang negara banyak terjadi kebocoran, korupsi dan penyelewengan lain, maka akan berakibat merosotnya tax morality masyarkat. Dalam masyarakat yang masih bersifat paternalistik seperti Indonesia dewasa ini, kebersihan aparatur pemerintah sangat berpengaruh terhadap kesadaran berwarga negara termasuk kesadaran membayar pajak. Tindakan pemerintah akan  selalu dipandang dan selalu menjadi contoh masyarakat, raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah.
Mengenai prinsip kemampun membayar (Ability to pay), mempunyai dua bagian terpisah, tidak hanya dinyatakan bahwa yang kaya harus membayar lebih banyak, tetapi kenyataan juga bahwa mereka yang berkedudukan atau berpenghasilan sama harus membayar pajak yang sama pula.
Gagasan yang kedua ini bahwa yang sama harus diperlakukan sama dinamakan kewajiban hirisontal. Sedangkan pembagian beban pajak yang sesuai di antara orang-orang yang berbeda kemampuan membayarnya dinamakan kewajiban vertikal.

B.     Definisi Pajak
Terdapat berbagai ragam/ mengenai definisi pajak di kalangan para sarjana ahli di bidang perpajakan. Di antara pendapat para sarjana tersebut, beberapa di antaranya yang sampai saat ini masih banyak pendukungnya. Di antaranya:
1.      Prof. Dr. PJA. Adriani (Pernah menjadi Guru Besar pada Universitas Amsterdam), beliau memberikan definisi yang berbunyi sebagai berikut:
“Pajak adalah iuran pada negara (yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak dapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas pemerintah”.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari definisi tersebut adalah bahwa Adriani memasukkan pajak, sebagai pengertian yang dianggapnya sebagai suatu “Species” ke dalam genus pungutan (iuran). Jadi, pungutan lebih luas dari pajak, yang dimaksud dengan pungutan ialah memperoleh sejumlah uang atau barang oleh penguasaan publik dari rumah tangga swasta dengan menggunakan kekuasaan politik dan atau kekuasaan ekonomis yang timbul karena kekuasaan politik dan atau kekuasaan ekonomis yang timbul karena kekuasaan politik tersebut, menurut norma-norma yang ditetapkan olehnya.
Pungutan ini dapat dibagi dalam:
b.      Pajak
c.       Retribusi
2.      Prof. Dr. MJH. Smeeths, beliau memberikan definisi pajak sebagai berikut: Pajak adalah prestasi pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal individual, maksudnya adalah membiayai pengeluaran pemerintah.
Kedua definisi tersebut, hanya menonjolkan fungsi budgeter (mengisi kas negara) dari pajak sedang fungsi pajak yang tidak kalah pentingnya adalah fungsi regulerend (mengatur).
3.      Dr. Soeparman Soemahamidjaya (dalam disertasinya yang berjudul: “Pajak berdasarkan asas gotong royong”, memberikan definisi: pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
Dengan mencantumkan istilah iuran wajib, diharapkan terpenuhinya ciri bahwa pajak dipungut dengan bantuan dari dan kerjasama wajib pajak, sehingga perlu pula dihindari penggunaan istilah paksaan. Bilamana suatu kewajiban harus dilaksanakan berdasarkan undang-undang, yang mana kewajiban tersebut tidak dilaksanakan maka undang-undang menunjukkan cara pelaksanaannya yang lain, hal ini tidak mengenai pajak saja. Beliau mengatakan, berkelebihanlah kiranya, kalau kasus mengenai pajak ditekankan pentingnya paksaan itu, seakan-akan tidak ada  kesadaran masyarakat untuk melakukan kewajibannya. Beliau selanjutnya menekankan bahwa cukup dikatakan saja bahwa pajak adalah “iuran wajib” (jadi tidak diberi tambahan “yang dapat dipaksakan”).
Adapun mengenai kontraprestasi, beliau berpendirian bahwa justru untuk menyelenggarakan kontra prestasi itulah perlu dipungut pajak; bukanlah pengeluaran-pengeluaran pemerintah bagi penyelenggaraan bidang keamanan, kehakiman dan hal-hal  lainnya yang merupakan pemberian kontra-prestasi bagi pembayar pajak selaku anggota masyarakat.
4.   Prof. Dr. Rochmat Soemitro, memberikan definisi sebagai berikut: pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan), yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pembangunan.
Dengan melihat definisi yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut, maka “Unsur-unsur” yang terdapat dalam definisi tersebut adalah:
1.      Bahwa pajak itu adalah suatu iuran, atau kewajiban  menyerahkan sebagian kekayaan (pendapatan) kepada negara. Dapat dikatakan  bahwa pemerintah menarik sebagian daya beli rakyat untuk negara.
2.      Bahwa perpindahan atau penyerahan iuran itu adalah bersifat wajib, dalam arti bahwa bila kewajiban itu tidak dilaksanakan maka dengan sendirinya dapat dipaksakan, artinya: hutang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan seperti surat paksa dan sita.
3.      Perpindahan ini adalah berdasarkan undang-undang atas peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang berlaku umum. Sekiranya pemungutan pajak tidak didasarkan pada undang-undang atau peraturan maka ini tidak sah dan dianggap sebagai perampasan hak.
4.      Tidak ada jasa timbal  (Tegen prestasi) yang dapat ditunjuk, artinya bahwa antara pembayaran pajak dengan prestasi dari negara tidak ada hubungan langsung. Prestasi dari negara seperti: hak untuk mendapat perlindungan dari alat-alat negara, hak penggunaan jalan umum, hak untuk mendapatkan pengairan  dan sebagainya. Prestasi tersebut tidak ditujukan secara langsung kepada individu pembayar pajak, tetapi ditujukan secara kolektif atau kepada anggota masyarakat secara keseluruhan. Buktinya orang miskin yang tidak membayar pajak pun dapat menikmati prestasi dari negara. Bahkan orang miskin mungkin lebih banyak menggunakan prestasi dari negara dibanding dengan orang kaya seperti dalam hal penggunaan  sarana/ kesehatan.
5.      Uang yang dikumpulkan tadi oleh negara digunakan untuk membiayai pengeluaran umum yang berguna untuk rakyat, seperti pembuatan jalan, jembatan, gedung, gaji untuk pegawai negeri termasuk ABRI, dan sebagainya.

C.     Dasar Hukum Pemungutan Pajak
Hukum pajak harus memberikan jaminan hukum dan keadilan yang tegas, baik untuk negara selaku pemungut pajak (Fiskus) maupun kepada rakyat selaku wajib pajak.
Di negara-negara yang menganut faham hukum, segala sesuatu yang menyangkut pajak harus ditetapkan dalam undang-undang. Dalam undang-undang Dasar 1945 dicantumkan pasal 23 ayat 2 sebagai dasar hukum pemungutan pajak oleh negara. Dalam pasal itu ditegaskan bahwa pengenaan dan pemungutan pajak (termasuk bea dan cukai) untuk keperluan negara hanya boleh terjadi berdasarkan undang-udang.
Apa rasionya sehingga pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang ? sebagaimana diketahui bahwa  pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintah (untuk membiayai pengeluaran negara) tanpa ada jasa timbal (tegen prestasi) yang langsung ditunjuk. Jadi pajak di sini adalah merupakan kekayaan rakyat yang diserahkan kepada negara.
Biasanya peralihan kekayaan dari sektor satu ke sektor lain tanpa adanya kontra-prestasi (jasa timbal), hanya dapat terjadi, bila terjadi suatu hibah, kekerasan dan perampasan  atau perampokan.
Itulah sebabnya maka di Inggris berlaku suatu dalil yang berbunyi: No Taxation without representation (tidak ada pajak tanpa undang-undang) dan Amerika : taxation without representation is roberry (Pajak tanpa undang-undang (perwakilan) adalah perampokan).
Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 mempunyai arti yang sangat dalam yaitu menetapkan nasib rakyat. Betapa caranya rakyat, sebagai bangsa, akan hidup dan darimana didapatnya belanja hidup harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri, dengan perantaraan dewan perwakilan rakyat sebagai wakil mereka.
Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya. Oleh karena itu penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, seperti pajak harus ditetapkan dengan undang-undang dengan persetujuan wakil-wakil mereka yang duduk di lembaga legislatif.
Itulah sebabnya rakyat selalu berusaha untuk memilih wakil-wakil mereka yang dipandang mampu dan sanggup memperjuangkan cita-cita dan perjuangan mereka. Suatu undang-undang misalnya, undang-undang pajak, meskipun masyarakat merasakan sebagai beban, tetapi karena sudah disetujui oleh wakil mereka maka ini diterima sebagai suatu undang-undang yang sah dan mengikat mereka.
Dengan ditetapkan pajak dalam bentuk undang-undang berarti pajak bukan perampasan hak/kekayaan rakyat karena sudah disetujui oleh wakil-wakil rakyat. Juga tidak dapat dikatakan sebagai pembayaran suka rela. Oleh karena pajak mengandung kewajiban bagi rakyat untuk mematuhinya dan bila ia (rakyat) tidak memenuhi kewajibannya dapat dikenakan sanksi.
Kalau pajak didasarkan kepada kesukarelaan saja maka sudah dapat dipastikan bahwa uang yang masuk kas negara mungkin tidak berarti sama sekali, bahkan dapat dikatakan rakyat tidak akan berkeinginan menyerahkan begitu saja hasil yang diperoleh dengan susah payah tanpa ada jasa timbal (kontraprestasi).
Di samping adanya undang-undang yang memberikan jaminan hukum kepada wajib pajak agar keadilan dapat diterapkan, maka faktor lainnya yang harus diperhitungkan oleh negara adalah agar pembuatan peraturan pajak diusahakan agar mencerminkan rasa keadilan bagi wajib pajak, sebab tingkat kehidupan serta daya pikul anggota masyarakat tidak sama. Anggota masyarakat ada yang mampu, kurang mampu,  dan tidak mampu.


Fungsi Pajak
Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak terlihat adanya dua fungsi pajak sebagaimana yang dikutip Mardiasmo, (2004:7) :
-          Fungsi budgeter (Mengisi kas Negara)
-          Fungsi regulernd (fungsi mengatur)
Untuk lebih jelasnya mengenai fungsi pajak ini akan diuraikan satu persatu sebagai berikut:
  1. Fungsi budgeter (mengisi kas negara)
Fungsi yang letaknya disektor publik yaitu fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak banyaknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan akan digunakan  untuk membiayai pengeluaran negara.
  1. Fungsi regulernd (fungsi  mengatur)
Fungsi mengatur ini berarti bahwa pajak, dijadikan sebagai alat bagi pemerintah untuk mencapai suatu tujuan tertentu baik dalam bidang ekonomi moneter, Sosial, kultural, maupun dalam bidang politik.

Syarat-syarat pemungutan pajak
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagaimana yang dikutip Waluyo dan Wirawan (2000:5), bahwa:
a.       Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)
Undang-undang dalam pelaksanaan pemungutan pajak harus bersifat adil. Adil dalam perundang-undangan di antaranya mengenakan pajak secara umum dan  merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
b.      Pemungutan pajak harus sesuai dengan  undang-undang (Syarat Yuridis)
Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, bagi negara maupun warganya yang diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2.
c.       Tidak mengganggu perekonomian (Syarat ekonomi)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran  kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
d.      Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial)
Biaya pemungutan harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya sesuai dengan fungsi budgeter
e.       Sistem pemungutan harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban untuk membayar pajak
Sistem Pemungutan Pajak
Pemungutan pajak dilaksanakan dengan menggunakan tiga sistem, sebagaimana dikutip Waluyo dan Wirawan, (2000:8)
f.        Official Assesment System
Sistem yang memberi wewenang kepada pemerintah (Fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang tertuang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya :
1.      Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terhutang ada pada tahun berjalan
2.      Angsuran bagi wajib pajak harus disetor sendiri
3.      Pada akhir tahun pajak, fiskus menentukan besarnya hutang yang sesungguhnya berdasarkan data yang dilaporkan  oleh wajib pajak.
g.      Self Assesment system
Sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri pajak yang terhutang.
Ciri-cirinya :
1.      Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terhutang ada pada wajib pajak sendiri
2.      Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang
3.      Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi
h.      With Holding System
Sistem pemungutan yang wewenang kepada yang pihak ketiga (bukan yang fiskus dan bukan wajib pajak bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Cara pemungutan pajak
Dapat dilakukan berdasarkan tiga pengenaan dikutip Mardiasmo           (2004:9) :


Pengenaan di belakakng/ stelsel nyata (riil stelsel)
Pengenaan pajak berdasarkan objek (penghasilan) yang nyata sehingga pemungutan dilakukan diakhir tahun, setelah penghasilan sesungguhnya telah diketahui.
Kebaikannya      :  Pajak yang dikenakannya lebih realistis
Kelemahannya   :  Pajak baru dikenakan pada akhir periode setelah penghasilan riil diketahui
i.        Pengenaan dikenakan di depan/ stelsel anggapan (Fictive stelsel)
Pengenaan pajak berdasarkan pada suatu anggapan yang diatur undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
Kebaikannya      :  Pajak dapat dibayar selama tahun berjalan tanpa harus menunggu sampai akhir tahun
Kelemahannya   :  Pajak tidak berdasar pada keadaan sesungguhnya
j.        Pengenaan campuran/ Stelsel campuran
Ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan anggapan, pengenaan pajak pada awal tahun dapat dihitung berdasarkan suatu anggapan dan pada akhir tahun besarnya disesuaikan  dengan keadaan yang sebenarnya.



Hambatan dalam Pemungutan Pajak
Mengingat betapa pentingnya peran masyarakat untuk membayar pajak dalam perannya menanggung pembiayaan negara, maka dituntut kesadaran warga negara untuk memenuhi kewajiban kenegaraan. Terlepas dari kesadaran sebagai warga negara, pada sebagian warga masyarakat tidak memenuhi kewajiban membayar pajak dalam hal demikian timbul hambatan perlawanan terhadap pajak.
Hambatan/ perlawanan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yang dikutip Waluyo dan Wirawan, (2000:5), yaitu :
a.       Pelrawanan Pasif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, disebabkan antara lain :
1)      Perkembangan intelektual dan moral masyarakat
2)      Sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami masyarakat
3)      Sistem kontrol tidak dapat dilakukan dengan baik
b.      Perlawanan Aktif
Perlawanan Aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak.
Bentuknya antara lain :
1)      Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang
2)      Tax evation, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang (mengepalkan pajak).
Share this article :

0 Komentar:

CARI

< Letakkan disini kode Shoutbox Anda>

Artikel Populer

 
Support : Creating Website | Ekhardhi Design | Ekhardhi Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. @ekhardhi - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Ekhardhi Design