Ada beberapa pintu masuk untuk
menginjeksikan perubahan dalam birokrasi pemerintah, dari yang paling kecil (mikro) sampai dengan yang
pali
ng besar (makro). Pintu perubahan yang paling kecil adalah perubahan pada tingkat perseorangan,
sedangkan yang paling besar adalah perubahan pada tingkat sistem. Semakin besar cakupan perubahan
semakin besar dampaknya
terhadap perbaikan kinerja. Namun resiko dan resistensi yang muncul dan perubahan pada tataran
sistem juga sangat besar. Tergantung pada kapasitas manajemen resiko yang dimiliki, apakah
perubahan yang akan
dilakukan melalui perubahan pada tingkat perseorangan atau perubahan pada tingkat sistem.
Kalau kapasitas manajemen resiko yang dimiliki besar maka perubahan pada tataran sistem akan
memiliki dampak yang
lebih besar.
Untuk mendorong perbaikan kinerja,
agen pembaharu dapat menginjeksikan
perubahan melalui kombinasi dan berbagai pintu perubahan, yaitu dari tingkat perseorangan,
prosedur kerja, organisasi, subsistem, dan sistem secara keseluruhan. Semakin
banyak perubahan yang diinjeksikan melalui berbagai pintu maka dampak perubahan menjadi
semakin besar. Agen
pembaharu dituntut untuk dapat melakukan kombinasi yang paling menguntungkan dan fisibel untuk
dilakukan agar tujuan melakukan perubahan dalam birokrasi pemerintah dapat dicapai.
3.1. Perubahan Sikap dan Perilaku
Aparat
Perubahan sikap dan perilaku aparat
birokrasi adalah perubahan yang memiliki skala paling kecil sehingga paling mudah dilakukan. Memang tidak mudah merubah perilaku
seseorang, namun karena skalanya kecil sehingga menjadi paling mudah dilakukan dan lebih kecil
resikonya daripada
merubah proses atau prosedur kerja. Merubah proses kerja lebih sulit dilakukan karena menuntut
perubahan tidak hanya pada tingkat perseorangan tetapi juga pada sikap dan perilaku
kelompok. Keberhasilan merubah
sikap dan perilaku seseorang belum tentu memiliki dampak terhadap sikap dan perilaku
kelompok. Orang yang sudah berubah belum tentu mampu mengupayakan terjadinya
perubahan pada proses kerja dan perilaku satuan-satuan organisasi yang ada pada suatu
birokrasi pemerintah.
Mengirim orang untuk mengikuti
pelatihan dan mengambil gelar sarjana dan pascasarjana adalah satu contoh upaya untuk melakukan perubahan
pada tingkat perseorangan. Seorang aparat pemerintah yang telah selesai mengikuti pelatihan, pendidikan bergelar,
ataupun magang sehingga mengalami perubahan sikap dan perilaku, tidak secara
otomatis akan dapat mempengaruhi
proses kerja. Perilaku baru ketika dihadapkan dengan proses kerja yang lama
biasanya berakhir dengan kekalahan atau kegagalan perilaku baru tersebut dalam merubah proses
kerja. Situasi seperti ini sering
terjadi dalam birokrasi yang sangat rule-driven atau dikendalikan peraturan.
Kecuali terjadi critical mass yang kemudian mampu menciptakan
tekanan untuk merubah proses kerja yang ada sehingga proses kerja menyesuaikan sikap dan perilaku baru yang
berkembang.
Perubahan pada tingkat perseorangan jika tidak diikuti
dengan perubahan pada tingkat yang lebih
tinggi seringkali mengalami kesulitan untuk
dijaga keberlanjutannya. Bahkan, banyak aparat yang telah mengalami pencerahan sehingga memiliki sikap dan
perilaku baru sering mengalami
frustasi karena proses dan prosedur kerja di birokrasi tidak berubah atau tidak lagi sesuai dengan sikap dan
perilaku mereka yang baru. Pada saat
yang sama, mereka tidak dapat mengekspresikan perubahan yang dialami dalam rutinitas kegiatan di instansi. Konflik
antara perilaku yang berubah dengan
proses kerja dan birokrasi yang tidak berubah sering menjadi suatu keniscayaan. Intervensi diperlukan supaya
perubahan pada tingkat perseorangan
dapat berkelanjutan dan terus bergulir sehingga berimbas pada tinkat yang lebh luas
Untuk itu diperlukan keterbukaan dalam birokrasi.
Tradisi baru untuk menghargai perubahan dan perbedaan yang sering terjadi
antara perilaku baru dengan prosedur lama harus dikembangkan. Sebaliknya,
persepsi yang menganggap perilaku yang berbeda dengan prosedur yang berlaku
sebagai bentuk penyimpangan harus dihindari. Tradisi baru yang menghargai
kreativitas dan inovasi harus ditumbuhkembangkan dalam kehidupan birokrasi
pemerintah. Di Indonesia, tradisi seperti itu belum banyak berkembang dalam
kehidupan birokrasi pemerintah. Pintu untuk melakukan inovasi dan mengembangkan
kreativitas belum dibuka dengan lebar. Tidak seperti di negara-negara maju,
yang memberi ruang dan kesempatan
luas kepada para pejabat birokrasi untuk mengembangkan inovasi dalam praktik pemerintahan
dan pelayanan publik."
Masih kentalnya tradisi lama
mengakibatkan proses pembelajaran dalam organisasi menjadi sangat terlambat dan terganggu,
sehingga Learning
organizations tidak
dapat berkembang. Perubahan birokrasi selalu muncul karena tekanan dari atas, yang bersumber
clan' perubahan prosedur,
organisasi, dan sistem. Masalahnya adalah, proses munculnya tekanan perubahan dari atas ini
sering sangat lama karena menunggu akumulasi persoalan dan kesulitan yang timbul. Sementara
perubahan dari bawah
atau dari perilaku orang-orang yang ada dalam organisasi sulit dikembangkan dalam birokrasi
pemerintah. Namun kelebihannya, perubahan dari bawah berlangsung secara evolusioner dan
alamiah sehingga tidak menimbulkan gejolak.
3.2. Perubahan Proses dan Prosedur Kerja
Perubahan pada proses kerja terjadi
ketika cara dan prosedur melaksanakan
pekerjaan mengalami perubahan. Misalnya, ketika suatu dinas memanfaatkan teknologi
komunikasi dan informasi dalam proses kerja. Penggunaan teknologi komunikasi dan informasi
dapat merubah prosedur kerja
dan cara melaksakan pekerjaan yang selama ini telah menjadi tradisi dalam birokrasi. Kalau
sebelumnya informasi selalu mengalir secara berjenjang dan sering mengalami distorsi, sekarang
informasi ini datang secara bersamaan dan dapat diakses secara bersama oleh
banyak orang dengan tingkat
distorsi yang sang at rendah, sehingga prosedur kerja menjadi lebih sederhana dan lebih pendek.
Begitu pula ketika pejabat dinas berhubungan dengan pengguna jasa, cara yang dilakukan
untuk mengontrol informasi
yang diberikan pengguna mungkin saja berubah.
Kalau dilakukan dengan baik,
perubahan pada proses kerja dapat mempengaruhi sikap dan perilaku para pejabat birokrasi.
Perubahan proses kerja
yang tidak diikuti perubahan perilaku, berpotensi menimbulkan benturan-benturan yang mungkin saja
membuat tujuan perubahan proses kerja tidak dapat menghasilkan manfaat yang optimal.
Tetapi jika dilaksanakan
secara konsisten serta diikuti dengan langkah persuasi dan edukasi terhadap para pejabat, perubahan
proses kerja dapat mengubah sikap dan perilaku para pejabat birokrasi.
Agen pembaharu sering melakukan
kesalahan karena menganggap perubahan pada proses kerja secara otomatis akan dukuti perubahan sikap dan perilaku. Untuk itu diperlukan
proses edukasi dan persuasi agar nilai-nilai yang terkandung dalam proses kerja yang baru dapat
dipahami oleh para pejabat
dan diinternalisasikan dalam kehidupan mereka. Proses internalisasi ini tentu memerlukan
waktu dan upayayang sungguh-sungguh karena untuk mengganti nilai-nilai, tradisi dan kebiasaan
lama yang telah melekat
dalam kehidupan para pejabat bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Namun, ketika nilai dan tradisi baru sudah
diterima dan berhasil diinternalisasikan
maka nilai dan tradisi baru inimemiliki kekuatan normatif sehingga para pejabat dengan sadar mau melakukan praktik dan tradisi kerja yang baru.
Perubahan proses kerja tentu dapat
menciptakan tekanan pada organisasi. Ketika proses kerja banyak mengalami perubahan, struktur birokrasi yang ada mungkin tidak lagi
cocok dengan proses kerja. Benturan antara proses dan struktur seringkali terjadi, terutama
dalam lingkungan organisasi
yang dinamis Misalnya, ketika produk teknologi informasi dan komunikasi menjadi semakin banyak
dan canggih tentu akan menciptakan tekanan pada struktur organisasi untuk merespon perubahan
pada proses kerja. Masuknya
e-government dapat mendorong birokrasi untuk melakukan restrukturisasi. Besarnya
pengaruh perubahan proses kerja terhadap perubahan struktur organisasi sangat ditentukan
oleh kemampuan kekuatan
pro-perubahan pada birokrasi dalam meyakinkan stakeholders yang lebih luas. Stakeholders, terutama
pimpinan birokrasi, harus diyakinkan bahwa perubahan struktur tidak dapat lagi
dihindari dan langkah
restruktuAs. asi birokrasi justru menguntungkan posisi mereka.
3.3. Perubahan Organisasi
Pada tingkat organisasi,
perubahan dapat dilakukan dalam berbagai area, seperti perubahan visi dan tupoksi,
perubahan furgsi, maupun perubahan struktur birokrasi. Untuk mewujudkan perubahan pada tingkat ini membutuhkan energi
yang lebih besar dan upaya yang lebih keras, j:ka dibandingkan ketika
mewujudkan perubahan pada tingkat yang lebih rendah seperti perubahan sikap dan
perilaku maupun perubahan proses kerja. Mengapa? Karena perubahan pada tingkat ini
memiliki implikasi yang lebih besar, pihak yang terkena imbas dan dampaknya juga lebih besar, mengundang pro
dan kontra yang lebih keras, sehingga selalu memunculkan resistensi dan kendala
yang lebih besar. Tetapi kalau dirancang dengan benar dan diimplementasikan dengan baik,
maka perubahan pada tingkat organisasi akan memiliki dampak jauh lebih besar terhadap perbaikan kinerja
birokrasi dibandingkan dengan perubahan pada tingkat dibawahnya.
Karena menyangkut
sumberdaya, resiko, dan kemungkinan menghadapi resistensi yang sangat besar maka perubahan
pada tin' gkat organisasi harus benar-benar dirancang dengan baik. Semua stakeholders
yang nasibnya
terpengaruh oleh perubahan yang akan ter;adi harus diidentifikasi keberadaan dan
kepentingannya. Pendek kata, semua keuntungan dan kerugian yang dialami
masing-masing stakeholder akibat adanya perubahan harus dipetakan dengan
baik. Siapa mendapatkan apa, bagaimana sikap dan reaksi mereka terhadap
perubahan, siapa yang akan mendukung dan menolak perubahan, dan apa saja yang mungkin
dilakukan oleh masing-masing stakeholders dalam merespon perubahan harus diketahui agen pem-baharu. Agen
pembaharu tidak boleh mengabaikan semua itu atau bahkan terkejut atas reaksi-reaksi
yang muncul dari perubahan yang diper-kenalkannya. Semua biaya dan manfaat
perubahan harus terlebih dahulu dikalkulasi dengan baik, sehingga langkah antisipasi terhadap resistensi dapat
dilakukan. Kalkulasi juga perlu dilakukan terhadap potensi dukungan yang mungkin diperoleh
untuk memperkuat agenda perubahan yang akan dilakukan. Dalam mengenalkan perubahan pada
tingkat organisasi, agen pembaharu harus
menguasai manajemen resiko dan memiliki dukungan politik yang memadai. Manajemen resiko diperlukan untuk menghadapi resistensi yang
muncul dari stakeholders yang merasa dirugikan akibat adanya perubahan.
3.4. Perubahan Subsistem dan Sistem
Secara Keseluruhan
Perubahan pada tingkat ini memiliki
resiko paling besar dan resistensi
menjadi suatu keniscayaan. Perubahan subsistem kepegawaian atau subsistem
keuangan pada sistem administrasi publik menciptakan tekanan yang sangat besar terhadap
struktur birokrasi. Apalagi jika sistem administrasi publik itu sendiri yang mengalami perubahan,
maka subsistem kepegawaian
dan keuangan serta struktur birokrasi secara otomatis akan berubah karena menyesuaikan dengan
perubahan sistem administrasi publik. Misalnya, ketika sistem pemerintahan yang berlaku berubah dari
sentralistis menjadi desentralistis maka dengan sendirinya sistem keuangan dan kepegawaian mengalami perubahan.
Perubahan pada tingkat sistem akan memaksa perubahan pada tingkat subsistem dan seterusnya. Sehingga tidak mengherankan ketika
otonomi daerah dilaksanakan di Indonesia terjadi perubahan yang radikal, bukan hanya dalam bidang
kepegawaian dan keuangan saja tetapi juga dalam struktur birokrasi baik di Pusat ataupun di Propinsi dan
Kabupaten/Kota.
Karena cakupan perubahannya sangat
besar, maka perubahan pada tingkat sistem dan subsistem memiliki resiko yang sangat besar. Stakeholders yang terpengaruh oleh perubahan ini
sangat banyak jumlahnya.
Seluruh aspek dan dampak perubahan pada tingkat ini harus benar-benar diperhitungkan dengan
cermat. Setelah semua stakeholders yang penting dan memiliki pengaruh luas dalam masyarakat
teridentifikasi, agen
pembaharu harus mengajak mereka berdialog mendiskusikan rencana perubahan dan alasan yang
melatarbelakangi perlunya melakukan perubahan.
Lebih dari itu, agen pembaharu juga harus menjelaskan mengenai keuntungan dan kerugian dari perubahan serta pengaruh perubahan tersebut terhadap nasib masing-masing stakeholders.
Kepada kelompok stakeholders yang
akan menanggung resiko perubahan, agen pembaharu
harus dapat menjelaskan mengenai kompensasi yang akan diberikan sehingga
akhirnya mereka dapat menerima perubahan secara ikhlas.
Meskipun semua itu sudah
dijelaskan, tetap tidak ada jaminan bahwa pemahaman terhadap rencana perubahan dengan sendirinya
dapat terwujud.
Kemungkinan terjadinya distorsi terhadap rencana perubahan akan selalu ada karena kelompok stakeholders
yang tidak setuju terhadap perubahan akan selalu mencari cara agar perubahan tidak
terjadi atau setidaknya
tertunda. Mereka dapat menciptakan isu dan disinformasi sehingga memunculkan
miskonsepsi terhadap rencana perubahan yang akan dilakukan. Untuk mengantisipasi hal ini, upaya-upaya
persuasi dan edukasi terhadap stakeholders dan masyarakat luas harus
terus-menerus dilakukan.
Untuk melakukan upaya persuasi dan
edukasi perlu dibentuk tim yang tangguh terdiri dari orang-orang yang meyakini benar bahwa perubahan memang harus dilakukan
untuk memperbaiki kinerja pemerintah dan birokrasi. Tim ini sangat diperlukan supaya proses edukasi dan persuasi dapat dilakukan secara
berkelanjutan dan sebagai upaya untuk menghadang isu-isu yang tidak benar dan melakukan
pelurusan informasi. Pemilihan
anggota bersifat strategis dan kritis karena kalau anggota tim tidak tahan banting dan memiliki
keyakinan kuat mengenai perlunya melakukan per-ubahan, mungkin semangat dan daya juang
mereka menurun ketika menghadapi resistensi
yang keras.
0 Komentar:
Posting Komentar