a. Pengertian Likuiditas
Menurut Simorangkir (2000:14), bahwa :
Likuiditas adalah kemampuan suatu bank melunasi kewajiban-kewajiban keuangan yang segera dapat dicairkan atau yang sudah jatuh tempo. Secara lebih spesifik likuiditas ialah kesanggupan bank menyediakan alat-alat lancar guna membayar kembali titipan yang jatuh tempo dan memberikan pinjaman (loan) kepada masyarakat yang memerlukan.
Pengertian likuiditas dapat dilihat secara statis ataupun dinamis. Statis berarti tersedianya alat-alat likuid sebagai suatu persediaan yang harus selalu ada sekarang yang dinamakan stock concept. Dinamis berarti tidak mengandalkan persediaan alat-alat likuid atau yang segera dapat dikonversikan ke dalam alat-alat likuid dengan mengantisipasikan kewajiban keuangan yang akan tiba dan bersamaan dengan itu juga memproyeksikan alat-alat likuid yang akan masuk, baik yang berasal dan kegiatan operasional maupun dari perluasan kredit yang dinamakan flow concept.
Kemudian oleh George W. Hempel yang dikutip Latumaerissa (1999 : 19) menyatakan bahwa Likuiditas merupakan kemampuan bank untuk memenuhi kemungkinan ditariknya deposito simpanan oleh deposan/penitip.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa likuiditas bank adalah kemampuan bank dalam melunasi seluruh kewajiban yang sudah jatuh tempo dengan menggunakan alat-alat likuid yang dikuasainya serta yang dapat dikonversikan sebagai alat likuid.
Bank dikatakan likuid menurut Martono (2002 : 81), jika bank tersebut mempunyai :
1) Cash asset tersebut kebutuhan yang digunakan untuk memenuhi likuiditasnya
2) Cash asset yang lebih kecil dari kebutuhan likuiditasnya, tetapi mempunyai asset atau aktiva lainnya (misalnya surat berharga) yang dapat dicairkan sewaktu-waktu tanpa mengalami penurunan nilai pasarnya.
3) Kemampuan untuk menciptakan cast asset baru melalui berbagai bentuk hutang.
Menurut Budisantoso (2006:110), bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan likuiditasnya, bank dapat menggunakan beberapa pendekatan. Pendekatan tersebut adalah sebagai berikut :
1) Commereial loan theory atau productive theory of credit atau real bills doctrine.
2) Asset shift ability theory
3) Doctrine of anticipated income theory
Ketiga pendekatan tersebut diatas dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut :
a) Commercial Loan Theory atau Productive Theory of Credit atau Real Bills Doctrine
Pendekatan ini menyatakan bahwa likuiditas bank akan dapat terjamin apabila aktiva produktif bank diwujudkan dalam bentuk kredit jangka pendek dan bersifat self liquidating. Kredit jangka pendek ini terutama dalam bentuk kredit modal kerja, sehingga diharapkan dalam jangka pendek debitur dapat mempunyai kemampuan untuk mengembalikan pinjamannya.
b) Asset Shift ability Theory
Pendekatan ini menyatakan bahwa likuiditas bank akan dapat dipelihara apabila asset bank dapat dengan cepat diubah dalam bentuk asset yang lain yang lebih likuid sesuai dengan kebutuhan. Fokus dari pendekatan ini adalah surat berharga dipandang cukup mudah untuk dikonversikan menjadi alat likuid. Pinjaman yang diberikan oleh bank diharapkan juga dijamin dengan surat berharga.
c) Doctrine of Anticipated Income Theory
Pendekatan ini menyatakan bahwa sumber likuditas bank dapat dipelihara meskipun banyak kredit jangka panjang tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas apabila jadwal pembayaran pokok dan bunga pinjaman direncanakan sebaik mungkin dan betul-betul disesuaikan dengan pendapatan masa mendatang dari debiturnya. Dengan adanya pendekatan ini, bank dimungkinkan untuk mengalokasikan dananya dalam bentuk pinjaman jangka pendek maupun jangka panjang.
b. Fungsi Likuiditas
Menurut Sinkey yang dikutip Latumaerissa (1999 : 20), menyatakan bahwa ada lima fungsi utama likuiditas bank :
1) Menunjukkan dirinya sebagai tempat yang aman untuk menyimpan uang.
2) Memungkinkan bank memenuhi komitmen pinjamannya.
3) Untuk menghindari penjualan aktiva yang tidak menguntungkan.
4) Untuk menghindarkan diri dan penyalahgunaan kemudahan atau kesan “negatif”dan penguasa moneter karena meminjam dana likuiditas dan bank sentral.
5) Memperkecil penilaian resiko ketidakmampuan membayar kewajiban penarikan itu.
Selanjutnya menurut Sinkey yang dikutip Latumaerissa, bahwa penjabaran lebih lanjut dan likuiditas bank dapat dilihat dan fungsi likuiditas, antara lain sebagai berikut :
a). Mampu memberikan rasa aman kepada para nasabah, deposan, girant, maupun kreditur lainnya.
Fungsi utama likuiditas adalah jaminan bahwa uang yang disimpan atau dipinjamkan kepada bank dapat dibayar kembali oleh bank tersebut pada saat jatuh tempo. Oleh karena itu, sepanjang bank tersebut dinilai mempunyai likuiditas tinggi, pemilik dana tidak akan ragu-ragu menempatkan atau menyimpan uangnya di bank tersebut. Sebaliknya. apabila bank dinilai mempunyai problem likuiditas (meskipun kecil), pemilik dana akan berpikir berkali-kali untuk menempatkan uangnya di bank tersebut. Bahkan mungkin mereka akan menarik dana yang ditempatkan meskipun belum jatuh tempo.
b). Menjamin tersedianya dana bagi setiap pemohon kredit yang telah disetujui Pada dasarnya bank melakukan bisnis dengan nasabah (debitur) jika bank menolak untuk menyediakan dana atas pemohon kredit yamg telah disetujui, mungkin debitur akan lari ke bank lain. Apabila kasus ini disebarkan ke debitur yang lain, ada kemungkinan bank tersebut akan kehilangan sebagian besar debiturnya.
c). Mencegah penjualan asset secara terpaksa
Apabila bank dalam posisi likuid cukup berat. bank tersebut mungkin tidak dapat memperpanjang pinjaman yang diterima dari bank lain. Lebih-lebih jika pinjaman tersebut jatuh tempo karena bank tidak menciptakan rasa aman kepada para pemilik dana. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan terpaksa menjual surat berharga yang umumnya dengan harga rendah. Hal itu jelas akan memperburuk tingkat modal bank tersebut.
d). Menghindarkan diri dari kewajiban membayar suku bunga yang tinggi atas dana yang diperoleh dari pasar uang.
Konsep dasar menyatakan bahwa besar kecilnya persepsi risiko merupakan fungsi dan tinggi rendahnya suku bunga. Demikian pula dengan likuiditas suatu bank di mata pemilik dana. Pemilik dana akan menganggap bahwa menempatkan/meminjamkan dana pada bank tersebut berisiko tinggi. Oleh karena itu, pemilik dana akan selektif dan mungkin akan menempatkan dananya dengan suku bunga yang tinggi pada bank tersebut. Bahkan, mungkin pula bahwa pemilik dana tidak mau menempatkan dananya pada bank yang mempunyai masalah likuiditas serius.
e). Menghindarkan diri dari penggunaan fasilitas discount random secara terpaksa.
Semakin sering suatu bank menggunakan fasilitas discount random, maka semakin tidak akan bebas manajemen bank dalam menentukan dan melaksanakan kebijakan usahanya. Hal itu disebabkan karena pada umumnya bank sentral akan mendikte manajemen bank tentang bagaimana (menurut pandangan bank sentral) bank tersebut. Misalnya. harus melakukan restrukturisasi atas neraca bank untuk memperbaiki likuiditasnya.
c. Sumber Likuiditas
Menurut Latumaerissa (1999:21), bahwa secara umum sumber-sumber likuiditas itu antara lain :
1) Asset bank yang akan segera jatuh tempo
2) Pasar uang
3) Sindikasi kredit
4) Cadangan likuiditas
5) Sumber dana yang sifatnya Last Resort
Sumber-sumber likuiditas di atas dapat diuraikan sebagai berikut :
a). Asset bank yang akan segera jatuh tempo
Kredit/pinjaman kepada debitur/cicilan pinjaman yang akan jatuh tempo dapat dianggap sebagai sumber likuiditas, oleh karena itu dalam kondisi kebijakan uang ketat, posisi likuiditas suatu bank akan rawan apabila keseluruhan portofolio kreditnya evergreen. Surat-surat berharga, instrumen pasar uang seperti Bank Acceptance, Sertifikat BI, Sertifikat Deposito pada bank lain yang segera jatuh tempo dapat pula dianggap sebagai sumber likuiditas.
b). Pasar Uang
Pasar uang adalah salah satu sumber likuiditas bank. Namun harus diakui bahwa tidak setiap bank mempunyai kemampuan untuk masuk ke pasar uang. Hal ini sangat dipengaruhi oleh besarnya suatu bank dan persepsi pasar atas credit worthiness bank tersebut. Credit worthiness bank akan mempengaruhi seberapa tinggi suatu bank harus membayar suku bunga atas dana yang disimpannya dan berapa besar jumlah dana yang dapat dipinjam Semakin tinggi credit worthiness suatu bank, semakin mudah bank tersebut memperoleh dana dari pasar dengan suku bunga dalam
jumlah sesuai dengan yang diinginkan. Demikian pula sebaliknya.
c). Sindikasi Kredit
Disamping tujuan untuk mengatasi Legal Lending Limit (3 L), menyebarkan risiko dan upaya meningkatkan Return On Asset (ROA), sindikasi kredit digunakan pula untuk menjalin hubungan dengan bank-bank lain. Akhirnya pada saat mengalami kesulitan dalam posisi likuiditasnya (illikuid), bank tersebut dapat menyindikasikan sebagian portofolio kreditnya kepada bank lain dalam upaya mengatasi masalah tersebut. Perlu diingat bahwa semakin aktif suatu bank ikut serta dalam suatu sindikasi kredit (strategi pemasaran sindikasi), bank tersebut semakin dikenal oleh bank-bank lain. Biasanya semakin mudah pula bank-bank tersebut untuk menyindikasikan kreditnya pada saat diperlukan (dengan asumsi bank-bank lain tidak mengalami kesulitan likuiditas).
d). Cadangan Likuiditas
Khusus bank yang tidak segera memperoleh dana pada saat diperlukan,
bank tersebut perlu mempunyai cadangan likuiditas. Bank tersebut tidak perlu menjual assetnya dengan harga yang merugi.
e). Sumber dana yang sifatnya Last Resort
Sumber likuiditas last resort ini penting untuk berjaga-jaga apabila sumber-sumber likuiditas yang lain ternyata tidak mampu menutupi kebutuhan likuiditas yang ada. Salah satu sumber yang umum digunakan oleh kebanyakan bank adalah fasilitas line of credit dari bank lain. Bank yang menjalin hubungan koresponden dengan bank lain kemungkinan dapat meminta fasilitas stand by line of credit dari bank lain tersebut.
d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Likuiditas
Menurut Simorangkir (2000 : 149), secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi posisi likuiditas dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
1) Faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam bank sendiri yang mempengaruhi besar kecilnya fluktuasi likuiditas. Faktor internal terjadi karena pergantian pimpinan, jangka waktu kredit, organisasi/administrasi, dan pembelian aktiva tetap (aktiva jangka panjang).
2) Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar yang sedikit banyak mempengaruhi berhasil tidaknya suatu bank mengendalikan posisi likuiditas yang dimilikinya. Yang termasuk faktor eksternal antara lain peraturan di bidang ekonomi/moneter, konjungtur, perubahan musim, kebiasaan masyarakat, dan huhungan antar kantor bank.
Faktor-faktor likuiditas di atas dapat diuraikan sebagai berikut :
a) Faktor Internal
Pimpinan baru harus aktif mengenal daerahnya secara sempurna, baik dari segi ekonomis maupun sosial, agar para nasabah tidak menutup rekeningnya di bank tersebut. Pimpinan bank sangat besar pengaruhnya dalam memperbesar atau sebaliknya menciutkan jumlah nasabah.
Faktor internal lainnya adalah mengenai jangka waktu kredit yang diberikan. Makin lama jangka waktu kredit yang diberikan berarti makin kecil turn over (peredaran) dari jumlah kredit yang dapat dipergunakan oleh bank. Mengingat sumber-sumber dana berasal dari simpanan masyarakat jangka pendek, maka kredit yang akan diberikan sebaiknya juga berjangka pendek agar bank tidak mengalami kesulitan likuiditas.
Selanjutnya, bank harus memiliki organisasi dan administrasi yang rapi dan teratur. Dengan organisasi yang sempurna pimpinan lebih mudah mengikuti segala perubahan hutang piutang setiap saat. Selain dari itu, organisasi dan administrasi harus dapat dijadikan fools of management (alat pengelola) dalam menentukan kebijakan perusahaan, termasuk memenuhi posisi likuiditas.
Faktor internal lainnya yang mempengaruhi likuiditas adalah pembelian aktiva tetap yang melebihi kemampuan keuangan yang dimiliki tentu akan mengakibatkan kesulitan likuiditas.
b) Faktor Eksternal
Kegoncangan perekonomian, dan moneter dengan sendirinya akan mempengaruhi keadaan perbankan. Dalam hal ini timbulnya kekurangan likuiditas bukan karena kesalahan kalkulasi bank dalam pengaturan posisi likuiditas, melainkan disebabkan oleh perubahan undang-undang yang terjadi sebagai faktor eksternal yang sebelumnya tidak diduga atau tidak diperhitungkan.
Konjungtur (gelombang perekonomian) juga mempengaruhi proses perekonomian dan sering mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, antara lain pendapatan nasional relatif kecil, banyak pengangguran, dan harga barang menurun. Selain dari itu, di sektor perbankan banyak simpanan di bank ditarik oleh deposan, sebaliknya pelunasan kredit yang diberikan oleh bank sering tidak lancar, bahkan banyak yang macet. Dengan gejala yang demikian maka bank akan mengalami kekurangan likuiditas
Perubahan musim pun sering turut mempengaruhi proses perekonomian. Hasil pertanian menurun dan berbagai perusahaan menghasilkan produksi musiman. Perubahan musim ini justru ikut serta mempengaruhi kegiatan perekonomian sehingga turut mempengaruhi posisi likuiditas bank.
Faktor eksternal lainnya yang juga dianggap mempengaruhi likuiditas adalah kebiasaan pembayaran masyarakat dengan uang kartal. Hal ini mengharuskan bank memperbesar alat-alat likuid berupa uang tunai. Di Amerika dan di negara barat lainnya masyarakat telah membiasakan dan melakukan pembayaran dengan uang giral sehingga alat likuid yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nasabah relatif kecil.
Hubungan antar kantor bank juga mempengaruhi likuiditas. Keadaan hubungan antar kantor pusat dan kantor cabang bank yang buruk menyebabkan transfer uang sulit atau kurang lancar. Keadaan hubungan yang buruk menyebabkan kantor cabang sering tidak menerima bantuan likuiditas.
Faktor eksternal lain yang mempengaruhi likuiditas adalah lokasi bank. Bank yang berkedudukan di daerah industri akan memperoleh sebagian besar dananya dari perusahaan industri di sekitarnya. Apabila industri di daerah itu mengalami kelesuan ataupun kemunduran, bank pun turut merasakan akibatnya. Kemajuan ataupun kemunduran perekonomian disuatu daerah khususnya dibidang industri, sangat besar pengaruhnya terhadap maju mundurnya perkembangan bank. Hal ini dengan sendirinya berpengaruh terhadap likuiditas bank.
e. Pengukuran Likuiditas
Menurut Simorangkir (2000:146), bahwa :
Untuk mengukur posisi likuiditas suatu bank, umumnya digunakan rasio likuiditas yang dapat digunakan dalam menilai kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang harus segera dipenuhinya. Ukuran rasio likuiditas bank berbeda dari rasio likuiditas yang sering digunakan untuk mengukur tingkat likuiditas perusahaan-perusahaan non bank. karena adanya perbedaan sifat usaha dan struktur aktiva dan pasiva. Oleh karena itu, variabel-variabel yang digunakan dalam rasio likuiditas ini tentunya berbeda pula. Masalah yang mungkin timbul adalah terbatasnya data atau informasi mengenai suatu bank bagi pihak luar bank yang akan mengukur posisi likuiditas bank. Sumber data bagi pihak yang tidak memiliki akses data dalam bank dapat menggunakan laporan keuangan bank yang dipublikasikan melalui media cetak.
Menurut Dendawijaya (2005 : 114), bahwa untuk mengukur tingkat likuiditas suatu bank dapat digunakan rasio keuangan sebagai berikut :
1) Cash ratio
Cash ratio adalah rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga yang dihimpun bank yang harus segera dibayar. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam membayar kembali simpanan nasabah (deposan) pada saat ditarik dengan menggunakan alat likuid yang dimilikinya.
Semakin tinggi rasio ini semakin tinggi pula kemampuan likuiditas bank bersangkutan, namun dalam praktik akan dapat mempengaruhi profitabilitasnya cash ratio dapat dirumuskan sebagai berikut :
Alat Likuid
Cash Ratio = x 100 %
Pinjaman Yang Harus Segera Dibayar
2) Reserve Requirement (RR)
Reserve requirement atau lebih dikenal juga dengan likuiditas wajib minimum adalah suatu simpanan minimum yang wajib dipelihara dalam bentuk giro di Bank Indonesia bagi semua bank Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 23/17/I3PP tanggal 28 Februari 1992, besarnya reserve requirement (RR) adalah 2%. Terhitung sejak tanggal Februari 1992, besarnya RR adalah 3 % dan sejak tahun 1997 menjadi 5 %. Untuk mengetahui besarnya reserve requirement dapat menggunakan perbandingan sebagai berikut ;
Jumlah Alat Likuid
Reserve Requirement = x 100%
Jumlah Dana (Simpanan) Pihak Ketiga
Pengertian alat likuid dalam rasio di atas terdiri atas dua hal sebagai berikut :
I) Kas
Pos ini pada neraca bank terdiri atas uang kertas dan uang logam yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
2) Giro pada Bank Indonesia
Pos ini adalah giro milik bank pelapor pada Bank Indonesia. Jumlah tersebut tidak boleh dikurangi dengan kredit yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank pelapor dan tidak boleh ditambah dengan fasilitas kredit sudah disetujui BI. tetapi belum digunakan. Komponen dana pihak ketiga terdiri atas:
1) Giro,
2) Deposito berjangka,
3) Sertifikat deposito.
4) Tabungan,
5) Kewajiban jangka pendek lainnya
Reserve requirement merupakan ketentuan bagi setiap bank umum untuk menyisihkan sehagian dan dana pihak ketiga yang berhasil dihimpunnya dalam bentuk Giro Wajib Minimum yang berupa rekening giro bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia. Besarnya RR tersebut telah mengalami beberapa kali perubahan dan sejak tahun 1997 hingga sekarang besarnya RR adalah 5%.
3) Loan to Deposit Ratio (LDR)
LDR adalah rasio antara seluruh jumlah kredit yang diberikan oleh bank dan
dengan dana yang diterima oleh bank. Ratio ini menunjukkan salah satu penilaian likuiditas bank dan dapat dirumuskan sebagai berikut :
Jumlah Kredit yang Diberikan
Loan to Deposit Ratio = x100%
Total Dana Pihak Ketiga + KLBI + Modal Inti
Menurut Surat Edaran Bank Indonesia tanggal 29 Mei 1993, termasuk dalam pengertian dana yang diterima bank adalah sebagai berikut :
1) KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) (jika ada)
2) Giro, Deposito, dan tabungan masyarakat.
3) Pinjaman bukan dari bank yang berjangka lebih dari 3 bulan, tidak termasuk pinjaman subordinasi.
4) Deposito dan pinjaman dari bank lain yang berjangka Iebih dan 3 bulan.
5) Surat berharga yang diterbitkan oleh bank yang berjangka waktu lebih dari 3 bulan.
6) Modal pinjaman
7) Modal inti.
Loan to deposit ratio tersebut menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin tinggi rasio ini semakin rendah kemampuan likuiditas bank, dikarenakan jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit menjadi semakin besar. Dalam tata cara penilaian tingkat kesehatan bank, Bank Indonesia menetapkan ketentuan sebagai berikut:
1) Untuk rasio LDR sebesar 110% atau lebih diberi nilai kredit 0, artinya likuiditas bank tersebut dinilai tidak sehat.
2) Untuk rasio LDR di bawah 110% diberi nilai kredit 100, artinya likuiditas bank tersebut dinilai sehat.
Rasio ini juga merupakan indikator kerawanan dan kemampuan dari suatu bank. Sebagian praktisi perbankan menyepakati bahwa batas aman dari loan to deposit ratio suatu bank adalah sekitar 80%. Namun, batas toleransi berkisar antara 85% dan 100%.
4) Loan to Asset Ratio (LAR)
Loan to asset ratio adalah rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat likuiditas bank yang menunjukkan kemampuan bank untuk memenuhi pemberian kredit dengan menggunakan total asset yang dimiliki bank. Dengan kata lain, rasio ini merupakan perbandingan seberapa besar kredit yang diberikan bank dibandingkan dengan besarnya total asset yang dimiliki bank. Semakin tinggi rasio ini, tingkat likuiditasnya semakin kecil karena jumlah asset yang diperlukan untuk membiayai kreditnya menjadi semakin besar. Rasio ini dapat dirumuskan pada halaman berikut:
Jumlah Kredit yang Diberikan
Loan to Asset Ratio = x100%
Jumlah Asset
5) Rasio Kewajiban Call Money
Persentase dari rasio ini menunjukkan besarnya kewajiban bersih Call money terhadap aktiva lancar atau aktiva yang paling likuid dari bank. Jika rasio ini semakin kecil nilainya, likuiditas bank dikatakan cukup baik karena bank dapat segera menutup kewajiban dalam kegiatan pasar uang antar bank dengan alat likuid yang dimilikinya. Aktiva lancar adalah berupa uang kas. giro pada BI, Sertifikat Bank Indonesia, dan surat berharga pasar uang (SBPU) yang telah diendors oleh bank lain (kesemuanya dalam rupiah). Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
Kewajiban Bersih Call Money
Call Money Ratio = x100%
Aktiva Lancar
f. Hubungan antara Pemberian Kredit dengan Tingkat Likuiditas Bank menurut Muljono (2001:20), bahwa :
Antara pemberian kredit dengan tingkat likuiditas bank mempunyai hubungan berbanding lurus, dimana suatu bank yang tidak likuid akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan dari para nasabahnya atau dari masyarakat luas, yang mengakibatkan bank tersebut mengalami kebangkrutan karena terjadinya rush (penarikan uang dari bank secara besar-besaran). Hal ini dapat dipahami karena sebagian dana yang dimiliki dan disalurkan bank dalam bentuk perkreditan berasal dari masyarakat.
Dari penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka tampak adanya suatu hubungan yang sangat erat antara pemberian kredit dan tingkat likuiditas pada bank. Apabila suatu bank berkeinginan untuk mempertahankan tingkat likuiditas dengan baik, maka bank harus menjaga dan memelihara alat-alat likuid yang dikuasainya dengan seoptimal mungkin. Keteledoran bank dalam menjaga dan memelihara posisi likuiditas berada dibawah ketentuan minimum, akan menyulitkan bank itu sendiri karena berangsur-angsur posisi dana tunai yang harus dikuasai bank akan semakin menipis.
Perlu adanya satu kebijaksanaan kredit yang tepat dan tetap memperhitungkan risiko yang mungkin terjadi, sehingga tingkat likuiditas yang dikehendaki dapat di pertahankan sebaik mungkin. Pihak bank harus mampu untuk menganalisa dan menilai pos-pos pada setiap neracanya sehingga terdapat keseimbangan antara dana yang dapat dioperasikan dengan kegiatan perkreditan.
0 Komentar:
Posting Komentar