Pada dasarnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak
melanggar ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Tindak pidana tersebut dikelompokkan kepada tindak pidana pencurian,
pembunuhan dan penganiayaan berat yang mengakibatkan matinya orang lain.
Keadaan anak yang bermasalah dengan hukum, baik sianak sebagai
pelaku tindak pidana diperlukan perangkat hukum untuk mencegah keadaan yang
lebih parah dengan memberikan perlindungan kepada anak, atau tidak melanjutkan
perkara ke sidang peradilan anak dengan cara menerapkan Diversi. Yang menjadi
permasalahan penelitian ini adalah :
- Apakah jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak
- Apakah tujuan penerapan Diversi dan Restorative Justice terhadap anak yang berkonflik dengan hukum oleh aparat kepolisian di Poltabes Padang dari Polda Sumatera Barat umumnya.
- Bagaimana kaitan antara program Diversi dan Restorative Justice dengan asas diskresi.
Untuk menjawab permasalahan ini maka digunakan metode
penelitian dengan pendekatan dilakukan secara normatif berdasarkan kenyataan di
lapangan Penelitian ini bersifat eksplorasi dengan menggunakan metode deskripsi
untuk rnengetahui bentuk bentuk pelanggaran hukum yang telah dilakukan
oleh anak yang berkonflik dengan
hukum. Penelitian ini Juga menggunakan
penelitian Hukum Sosiologis (Sosio-Legal Research) dengan dasar bahwa
pendekatan normatif saja tidak dapat melihat realitas yang terjadi dalam
masyarakat tanpa melihat aturan hukum yang berlaku. Sperifikasi penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis dan perspektif yaitu
menguraikan secara analisis permasalahan yang dihadapi
Adapun jenis dan sumber data yaitu data yang didapatakan melalui
literatur-literatur dan data primer dengan melakukan peneliti an ke lapangan
melalui wawancara semi terstruktur. Dimana responden yang diwawancarai dipilih
secara purposive sampling. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
penyidik mempunyai kewenangan untuk menerapkan diversi terhadap anak vang
berkonflik dengan hukum dengan tujuan adalah:
- Untuk menghindari penahanan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum
- Untuk menghindari cap/ label sebagai penjahat terhadap anak
- Untuk rnenghindari anak mengikuti Proses Sistem Peradilan (Peradilan Anak)
Kemudian antara diversi dengan Restorative Justice dan
asas diskresi saling mempunyai hubungan. Diskresi merupakan kewenangan dari
penyidik Polri untuk tidak melanjutkan perkara anak dengan menerapkan di versi
Disarankan untuk menerapkan di versi ini tidak hanya di tingkat penyidikan
saja, tetapi juga diterapkan di tingkat penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan.
Konsep Diversi
Sebelum membahas jauh tentang konsep diversi
dan Restorative Justice, ada baiknya dipahami sistem peradilan pidana anak
dalam perspektif HAM internasional sebagai komparasi. Sistem Peradilan Pidana
Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsure sistem peradilan pidana
yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi
sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan
sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau
diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga
akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak.
Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam
pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi
penghukuman. Sehubungan dengan hal ini, Muladi yang menyatakan bahwa criminal
justice system memiliki tujuan untuk : (i) resosialisasi dan rehabilitasi
pelaku tindak pidana; (ii) pemberantasan kejahatan; (iii) dan untuk mencapai
kesejahteraan sosial. Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan sistem
peradilan pidana anak terpadu lebih ditekankan kepada upaya pertama
(resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial). Namun upaya
h lain diluar mekanisme pidana atau peradilan dapat dilakukan dengan beberapa
metode diantaranya metode Diversi dan Restorative Justice.
Diversi adalah pengalihan penanganan kasus
kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan
atau tanpa syarat. Pendekatan diversi dapat diterapkan bagi penyelesaian
kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Adapun yang menjadi tujuan upaya
diversi adalah :
• untuk menghindari anak dari penahanan;
• untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;
• untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak;
• agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
• untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan
anak tanpa harus melalui proses formal;
• menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan;
• menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses
peradilan.
Program diversi dapat menjadi bentuk restoratif justice jika :
• mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan
dengan berbuat kebaikan bagi si korban;
• memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan
dengan keluarga;
• memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat
yang dirugikan oleh tindak pidana.
Pelaksanaan metode sebagaimana telah dipaparkan
diatas ditegakkannya demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip
kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain, diversi tersebut berdasarkan
pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and
fullfilment child rights based approuch). Deklarasi Hak-Hak Anak tahun 1959
dapat dirujuk untuk memaknai prinsip kepentingan terbaik untuk anak. Prinsip
kedua menyatakan bahwa anak-anak seharusnya menikmati perlindungan khusus dan
diberikan kesempatan dan fasilitas melalui upaya hukum maupun upaya lain
sehingga memungkinkan anak terbangun fisik, mental, moral, spiritual dan
sosialnya dalam mewujudkan kebebasan dan kehormatan anak. Dalan kerangka hak
sipil dan politik, prinsip ini dapat dijumpai dalam 2 (dua) Komentar Umum
Komisi Hak Asasi Manusia (General Comments Human Rights Committee) khsususnya
Komentar Umum Nomor 17 dan 19) sebagai upaya Komisi melakukan interpretasi
hukum atas prinsip kepentingan terbaik anak dalam kasus terpisahnya anak dari
lingkungan orang tua (parental separation or divorce).Dalam kerangka ini,
pendekatan kesejahteraan dapat dijadikan sebagai dasar filosofi penanganan
terhadap pelanggaran hukum usia anak. Pada prinsipnya pendekatan ini didasari 2
(dua) faktor sebagai berikut :
• Anak-anak dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat,
sehingga sudah sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta
pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa
sehingga sudah sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta
pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa
• Bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah
dibina dan disadarkan
dibina dan disadarkan
Terkait permasalahan tersebut , di negara-negara Eropa terdapat 5 (lima)
macam pendekatan yang biasanya digunakan untuk menangani pelaku pelanggaran
hukum usia anak, yaitu :
• Pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak
• Pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum
• Pendekatan dengan menggunakan/berpatokan pada sistem peradilan
pidana semata
pidana semata
• Pendekatan edukatif dalam pemberian hukuman
• Pendekatan hukuman yang murni bersifat retributive
Berdasarkan pemikiran di atas, maka tindakan
hukum yang dilakukan terhadap mereka yang berusia di bawah 18 tahun harus
mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. Hal ini didasari asumsi bahwa anak
tidak dapat melakukan kejahatan atau doli incapax dan tidak dapat secara penuh
bertanggung jawab atas tindakannya.34 Dengan demikian, pendekatan yang dapat
digunakan untuk penanganan anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan
praktek-praktek negara Eropa yang sesuai dengan nilai-nilai, prinsip-prinsip,
dan norma KHA adalah pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak
(Pasal 3 ayat (1),(2),(3)) dan pendekatan kesejahteraan dengan intervnesi hukum
(Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40). Berangkat dari konsep ini, pendekatan
dengan model penghukuman yang bersifat restoratif atau disebut restorative
justice saat ini lebih layak diterapkan dalam menangani pelanggar hukum usia
anak. Prinsip ini merupakan hasil eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan
kesejahteraan dan pendekatan keadilan. Restorative justice berlandaskan pada
prinsip-prinsip due process yang sangat menghormati hak-hak hukum tersangka,
seperti hak untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah hingga vonis
pengadilan menetapkan demikian, hak untuk membela diri, dan mendapatkan hukuman
yang proposional dengan kejahatan yang dilakukannya.
Konsep Restorative Justice
Konsep Restorative Justice telah muncul lebih
dari dua puluh tahun yang lalu sebagai alternative penyelesaian perkara pidana
anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang
berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan
masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan dating.
Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijakan) dan diversi,
yaitu pengalihan dari proses pengadilan pidana ke luar proses formal untuk
diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya
bukan hal baru bagi Indonesia, bahkan hukum adat di Indonesia tidak membedakan
penyelesaian perkara pidana dan perdata, semua perkara dapat diselesaikan
secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan
keadaan. Dengan menggunakan metode restorative, hasil yang diharapkan ialah
berkurangnya jumlah anak anak yang ditangkap, ditahan dan divonis penjara,
menghapuskan stigma dan mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga
diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari. Adapun sebagai mediator dalam
musyawarah dapat diambil dari tokoh masyarakat yang terpercaya dan jika
kejadiannya di sekolah, dapat dilakukan oleh kepala sekolah atau guru. Syarat
utama dari penyelesaian melalui musyawarah adalah adanya pengakuan dari pelaku
serta adanya persetujuan dari pelaku beserta keluarganya dan korban untuk
menyelesaikan perkara melalui muyawarah pemulihan, proses peradilan baru
berjalan. Dalam proses peradilan harus berjalan proses yang diharapkan adalah
proses yang dapat memulihkan, artinya perkara betul betul ditangani oleh aparat
penegak huku yang mempunyaai niat, minat, dedikasi, memahami masalah anak dan
telah mengikuti pelatihan restorative justice serta penahanan dilakukan sebagai
pilihan terakhir dengan mengindahkan prinsip-prinsip dasar dan konvensi tentang
Hak-HAk Anak yang telah diadopsi kedalam undang-undang perlindungan anak.
Apabila anak terpaksa harus ditahan ,penahanan
tersebut harus di Rutan khusus anak, dan apabila terpaksa harus dipenjara maka
harus ditempatkan di Lapas anak. Baik di Rutan maupun di Lapas, anak harus
tetap bersekolah dan mendapatkan hakhak asasinya sesuai dengan The Beijing
Rules agar mereka dapat menyongsong masa depan yang cerah karena pengabaian
terhadap hak-hak anak adalah juga pengabaian terhadap masa depan bangsa dan
Negara. Model restorative justice juga berlandaskan dengan due process model
bekerjanya sistem peradilan pidana, yang sangast menghormati hak hak hukum
setiap tersangka seperti, hak untuk diduga dan diperlakukannnya sebagai orang
yang tidak bersalah jika pengadilan belum memvonisnya bersalah, hak untuk
membela diri dan hak untuk mendapatkan hukuman yang proposional dengan
pelanggaran yang telah dilakukan. Dalam kasus anak pelaku pelanggaran hukum,
mereka berhak mendapatkan pendampingan dari pengacaranya selama menjalani
proses peradilan. Disamping itu adanya kepentingan korban yang juga tidak boleh
diaabaikan, namun demikian tetap harus memperhatikan hak hak asasi anak sebagai
tersangka. Oleh karena itu, anak anak ini sebisa mungkin harus dijauhkan dari
tindakan penghukuman sebagaimana yang biasa dilakukan kepada penjahat dewasa.
Tindakan-tindakan yang dapat diambil anak anak
yang telah divonis bersalah ini misalnya, pemberian hukuman bersyarat seperti
kerja sosial/ pelayanan sosial serta pembebasan bersyarat. Dengan demikian
dengan model restorative justice, proposionalitas penghukuman terhadap anak
sangat diutamakan. Model ini sangat terlihat dalam ketentuan ketentuan The
Beijing Rules dan dalam peraturan peraturan PBB bagi perlindungan anak yang
sebelumnya harus telah dilakukan dengan serius untuk menghindarkan anak anak
dari proses hukum gagal dilakukan, anak anak yang berhadapan dengan proses
peradilan harus dilindungi hak haknya sebagai tersangka, dan hak haknya sebagai
anak. Misalnya kewenangan polisi untuk memberikan diskresi dapat diberikan
untuk kasus kasus seperti apa atau dalam kasus seperti apa jaksa dapat
menggunakan kewenangannya untuk mengeluarkan anak. Oleh karena itu, diperlukan
aturan yang baku tentang syarat dan pelaksanaan bagi diberikannya perlakuan non
formal bagi kasus kasus anak yang berhadapan dengan hukum sehingga praktik
praktik negatif dalam sistem peradilan yang merugikan anak dapat dibatasi.
Peran pekerja sosial juga harus diberdayakan,
termasuk pendampingan bagi anak yang baru menyelesaikan pembinaan di dalam
lembaga. Karena dalam pasal 33-35 UU No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak
dijelaskan tentang ketentuan pekerja sosial dari Departemen Sosial yang berugas
membimbing, membantu, dan mengawasi anak nakal yang berdasarkan putusan pengadilan
dijatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, dan pidana denda, diserahkan
kepada Negara dan harus mengikuti latihan kerja atau anak yang memperoleh
pembebasan bersyarat dari Lapas. Pekerja sosial juga bertugas membantu dan
mengawasi anak yang berkonflik dengan hukum yang berdasarkan putusan pengadilan
diserahkan kepada Departemen Soosial untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan
kerja.
Di
tengah belum terwujudnya citra peradilan yang ramah anak, baik atas ketentuan
hukum normatif yang ada maupun atas dasar kondisi sosial masyarakat, terbuka
peluang dan sangat mutlak untuk menggunakan sistem Diversi dan Restorative
Justice dan tidak menggunakan hukum yang formal dalam menangani anak yang
berhadapan dengan hukum.
Pikirkan masa depan anak
Sementara itu, Ketua Pengadilan Tinggi Sumut Mohammad
Arief, SH mewakili Mahkamah Agung mengimbau kepada hakim sebelum mengambil
keputusan, harus selalu memikirkan kebaikan masa depan anak yang berhadapan
dengan hukum tersebut, sebab anak yang berusia 8-15 tahun kelakuannya masih
labil, masih mudah dipengaruhi oleh lingkungan/kawan sekitarnya dan belum bisa
membedakan mana yang baik dan tidak baik.
"Ketua MA dalam pengarahannya di hadapan Ketua PT
se-Indonesia antara lain menginstruksikan agar dalam peradilan anak, dalam
menjatuhkan keputusan benar-benar harus diciptakan kebijakan dan kehati-hatian
demi masa depan si anak nakal tersebut," ujar Mohammad Arief, SH. Untuk
itu, dia mengimbau, agar kasus-kasus yang sifatnya merupakan kenakalan anak,
agar jangan ditahan tapi dibebaskan, kalau memang karena kasusnya yang cukup
berat dan menarik perhatian masyarakat serta demi keselamatan anak tersebut,
penahanannya harus ditempatkan di tahanan anak (khusus anak-anak).
Remisi tahanan anak
Remisi tahanan anak
Sementara itu, Wakil Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA)
Mohammad Jhoni menyebutkan, saat ini Komnas PA sedang mengusulkan agar
pemerintah mengeluarkan Keppres untuk memberikan remisi kepada tahanan anak
pada setiap hari anak nasional. M. Jhoni mengatakan, ini bertujuan untuk
mengurangi kepadatan Lapas anak dan menegakkan kepedulian pemerintah kepada
masa depan anak yang berhadapan dengan hukum atau melanggar hukum.
Yang paling penting, tambahnya, dalam sistem peradilan anak harus mengembangkan substansi pasca penahanan anak bagaimana anak dibina. "Kita membutuhkan Diversi dan Restorasi Justice dalam peradilan anak sebagai upaya membangun peradilan yang ramah pada anak," tegasnya.
Yang paling penting, tambahnya, dalam sistem peradilan anak harus mengembangkan substansi pasca penahanan anak bagaimana anak dibina. "Kita membutuhkan Diversi dan Restorasi Justice dalam peradilan anak sebagai upaya membangun peradilan yang ramah pada anak," tegasnya.
0 Komentar:
Posting Komentar