Headlines News :

BLOG PRIVACY

MOHON MAAF JIKA PORTAL INI TIDAK BERISI KONTEN PORNOGRAFI KARENA DI DALAM BLOG INI HANYA BERISI PENGETAHUAN YANG MUNGKIN ANDA HARAPKAN
Home » » PENERAPAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PERADILAN PIDANA ANAK

PENERAPAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PERADILAN PIDANA ANAK



Pada dasarnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak melanggar ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindak pidana tersebut dikelompokkan kepada tindak pidana pencurian, pembunuhan dan penganiayaan berat yang mengakibatkan matinya orang lain.
Keadaan anak yang bermasalah dengan hukum, baik sianak sebagai pelaku tindak pidana diperlukan perangkat hukum untuk mencegah keadaan yang lebih parah dengan memberikan perlindungan kepada anak, atau tidak melanjutkan perkara ke sidang peradilan anak dengan cara menerapkan Diversi. Yang menjadi permasalahan penelitian ini adalah :
  1. Apakah jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak
  2. Apakah tujuan penerapan Diversi dan Restorative Justice terhadap anak yang berkonflik dengan hukum oleh aparat kepolisian di Poltabes Padang dari Polda Sumatera Barat umumnya.
  3. Bagaimana kaitan antara program Diversi dan Restorative Justice dengan asas diskresi.

Untuk menjawab permasalahan ini maka digunakan metode penelitian dengan pendekatan dilakukan secara normatif berdasarkan kenyataan di lapangan Penelitian ini bersifat eksplorasi dengan menggunakan metode deskripsi untuk rnengetahui bentuk bentuk pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh  anak yang berkonflik dengan hukum.  Penelitian ini Juga menggunakan penelitian Hukum Sosiologis (Sosio-Legal Research) dengan dasar bahwa pendekatan normatif saja tidak dapat melihat realitas yang terjadi dalam masyarakat tanpa melihat aturan hukum yang berlaku. Sperifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis dan perspektif yaitu menguraikan secara analisis permasalahan yang dihadapi
Adapun jenis dan sumber data yaitu data yang didapatakan melalui literatur-literatur dan data primer dengan melakukan peneliti an ke lapangan melalui wawancara semi terstruktur. Dimana responden yang diwawancarai dipilih secara purposive sampling. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penyidik mempunyai kewenangan untuk menerapkan diversi terhadap anak vang berkonflik dengan hukum dengan tujuan adalah:
  1. Untuk menghindari penahanan terhadap  anak yang berkonflik dengan hukum
  2. Untuk menghindari cap/ label  sebagai penjahat terhadap anak
  3. Untuk rnenghindari anak mengikuti Proses Sistem Peradilan (Peradilan Anak)

Kemudian antara diversi dengan Restorative Justice dan asas diskresi saling mempunyai hubungan. Diskresi merupakan kewenangan dari penyidik Polri untuk tidak melanjutkan perkara anak dengan menerapkan di versi Disarankan untuk menerapkan di versi ini tidak hanya di tingkat penyidikan saja, tetapi juga diterapkan di tingkat penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.







Konsep Diversi
Sebelum membahas jauh tentang konsep diversi dan Restorative Justice, ada baiknya dipahami sistem peradilan pidana anak dalam perspektif HAM internasional sebagai komparasi. Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsure sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Sehubungan dengan hal ini, Muladi yang menyatakan bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk : (i) resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana; (ii) pemberantasan kejahatan; (iii) dan untuk mencapai kesejahteraan sosial. Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan sistem peradilan pidana anak terpadu lebih ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial). Namun upaya h lain diluar mekanisme pidana atau peradilan dapat dilakukan dengan beberapa metode diantaranya metode Diversi dan Restorative Justice.
Diversi adalah pengalihan penanganan kasus kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan diversi dapat diterapkan bagi penyelesaian kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah :
• untuk menghindari anak dari penahanan;
• untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;
• untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak;
• agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
• untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal;
• menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan;
• menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
Program diversi dapat menjadi bentuk restoratif justice jika :
• mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban;
• memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga;
• memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.
Pelaksanaan metode sebagaimana telah dipaparkan diatas ditegakkannya demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain, diversi tersebut berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and fullfilment child rights based approuch). Deklarasi Hak-Hak Anak tahun 1959 dapat dirujuk untuk memaknai prinsip kepentingan terbaik untuk anak. Prinsip kedua menyatakan bahwa anak-anak seharusnya menikmati perlindungan khusus dan diberikan kesempatan dan fasilitas melalui upaya hukum maupun upaya lain sehingga memungkinkan anak terbangun fisik, mental, moral, spiritual dan sosialnya dalam mewujudkan kebebasan dan kehormatan anak. Dalan kerangka hak sipil dan politik, prinsip ini dapat dijumpai dalam 2 (dua) Komentar Umum Komisi Hak Asasi Manusia (General Comments Human Rights Committee) khsususnya Komentar Umum Nomor 17 dan 19) sebagai upaya Komisi melakukan interpretasi hukum atas prinsip kepentingan terbaik anak dalam kasus terpisahnya anak dari lingkungan orang tua (parental separation or divorce).Dalam kerangka ini, pendekatan kesejahteraan dapat dijadikan sebagai dasar filosofi penanganan terhadap pelanggaran hukum usia anak. Pada prinsipnya pendekatan ini didasari 2 (dua) faktor sebagai berikut :
• Anak-anak dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat,
sehingga sudah sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta
pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa
• Bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah
dibina dan disadarkan
Terkait permasalahan tersebut , di negara-negara Eropa terdapat 5 (lima) macam pendekatan yang biasanya digunakan untuk menangani pelaku pelanggaran hukum usia anak, yaitu :
• Pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak
• Pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum
• Pendekatan dengan menggunakan/berpatokan pada sistem peradilan
pidana semata
• Pendekatan edukatif dalam pemberian hukuman
• Pendekatan hukuman yang murni bersifat retributive
Berdasarkan pemikiran di atas, maka tindakan hukum yang dilakukan terhadap mereka yang berusia di bawah 18 tahun harus mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. Hal ini didasari asumsi bahwa anak tidak dapat melakukan kejahatan atau doli incapax dan tidak dapat secara penuh bertanggung jawab atas tindakannya.34 Dengan demikian, pendekatan yang dapat digunakan untuk penanganan anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan praktek-praktek negara Eropa yang sesuai dengan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan norma KHA adalah pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak (Pasal 3 ayat (1),(2),(3)) dan pendekatan kesejahteraan dengan intervnesi hukum (Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40). Berangkat dari konsep ini, pendekatan dengan model penghukuman yang bersifat restoratif atau disebut restorative justice saat ini lebih layak diterapkan dalam menangani pelanggar hukum usia anak. Prinsip ini merupakan hasil eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan kesejahteraan dan pendekatan keadilan. Restorative justice berlandaskan pada prinsip-prinsip due process yang sangat menghormati hak-hak hukum tersangka, seperti hak untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah hingga vonis pengadilan menetapkan demikian, hak untuk membela diri, dan mendapatkan hukuman yang proposional dengan kejahatan yang dilakukannya.
Konsep Restorative Justice
Konsep Restorative Justice telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang lalu sebagai alternative penyelesaian perkara pidana anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan dating. Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijakan) dan diversi, yaitu pengalihan dari proses pengadilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi Indonesia, bahkan hukum adat di Indonesia tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dan perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan. Dengan menggunakan metode restorative, hasil yang diharapkan ialah berkurangnya jumlah anak anak yang ditangkap, ditahan dan divonis penjara, menghapuskan stigma dan mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari. Adapun sebagai mediator dalam musyawarah dapat diambil dari tokoh masyarakat yang terpercaya dan jika kejadiannya di sekolah, dapat dilakukan oleh kepala sekolah atau guru. Syarat utama dari penyelesaian melalui musyawarah adalah adanya pengakuan dari pelaku serta adanya persetujuan dari pelaku beserta keluarganya dan korban untuk menyelesaikan perkara melalui muyawarah pemulihan, proses peradilan baru berjalan. Dalam proses peradilan harus berjalan proses yang diharapkan adalah proses yang dapat memulihkan, artinya perkara betul betul ditangani oleh aparat penegak huku yang mempunyaai niat, minat, dedikasi, memahami masalah anak dan telah mengikuti pelatihan restorative justice serta penahanan dilakukan sebagai pilihan terakhir dengan mengindahkan prinsip-prinsip dasar dan konvensi tentang Hak-HAk Anak yang telah diadopsi kedalam undang-undang perlindungan anak.
Apabila anak terpaksa harus ditahan ,penahanan tersebut harus di Rutan khusus anak, dan apabila terpaksa harus dipenjara maka harus ditempatkan di Lapas anak. Baik di Rutan maupun di Lapas, anak harus tetap bersekolah dan mendapatkan hakhak asasinya sesuai dengan The Beijing Rules agar mereka dapat menyongsong masa depan yang cerah karena pengabaian terhadap hak-hak anak adalah juga pengabaian terhadap masa depan bangsa dan Negara. Model restorative justice juga berlandaskan dengan due process model bekerjanya sistem peradilan pidana, yang sangast menghormati hak hak hukum setiap tersangka seperti, hak untuk diduga dan diperlakukannnya sebagai orang yang tidak bersalah jika pengadilan belum memvonisnya bersalah, hak untuk membela diri dan hak untuk mendapatkan hukuman yang proposional dengan pelanggaran yang telah dilakukan. Dalam kasus anak pelaku pelanggaran hukum, mereka berhak mendapatkan pendampingan dari pengacaranya selama menjalani proses peradilan. Disamping itu adanya kepentingan korban yang juga tidak boleh diaabaikan, namun demikian tetap harus memperhatikan hak hak asasi anak sebagai tersangka. Oleh karena itu, anak anak ini sebisa mungkin harus dijauhkan dari tindakan penghukuman sebagaimana yang biasa dilakukan kepada penjahat dewasa.
Tindakan-tindakan yang dapat diambil anak anak yang telah divonis bersalah ini misalnya, pemberian hukuman bersyarat seperti kerja sosial/ pelayanan sosial serta pembebasan bersyarat. Dengan demikian dengan model restorative justice, proposionalitas penghukuman terhadap anak sangat diutamakan. Model ini sangat terlihat dalam ketentuan ketentuan The Beijing Rules dan dalam peraturan peraturan PBB bagi perlindungan anak yang sebelumnya harus telah dilakukan dengan serius untuk menghindarkan anak anak dari proses hukum gagal dilakukan, anak anak yang berhadapan dengan proses peradilan harus dilindungi hak haknya sebagai tersangka, dan hak haknya sebagai anak. Misalnya kewenangan polisi untuk memberikan diskresi dapat diberikan untuk kasus kasus seperti apa atau dalam kasus seperti apa jaksa dapat menggunakan kewenangannya untuk mengeluarkan anak. Oleh karena itu, diperlukan aturan yang baku tentang syarat dan pelaksanaan bagi diberikannya perlakuan non formal bagi kasus kasus anak yang berhadapan dengan hukum sehingga praktik praktik negatif dalam sistem peradilan yang merugikan anak dapat dibatasi.
Peran pekerja sosial juga harus diberdayakan, termasuk pendampingan bagi anak yang baru menyelesaikan pembinaan di dalam lembaga. Karena dalam pasal 33-35 UU No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak dijelaskan tentang ketentuan pekerja sosial dari Departemen Sosial yang berugas membimbing, membantu, dan mengawasi anak nakal yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, dan pidana denda, diserahkan kepada Negara dan harus mengikuti latihan kerja atau anak yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lapas. Pekerja sosial juga bertugas membantu dan mengawasi anak yang berkonflik dengan hukum yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada Departemen Soosial untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan kerja.
Di tengah belum terwujudnya citra peradilan yang ramah anak, baik atas ketentuan hukum normatif yang ada maupun atas dasar kondisi sosial masyarakat, terbuka peluang dan sangat mutlak untuk menggunakan sistem Diversi dan Restorative Justice dan tidak menggunakan hukum yang formal dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum.

Pikirkan masa depan anak
Sementara itu, Ketua Pengadilan Tinggi Sumut Mohammad Arief, SH mewakili Mahkamah Agung mengimbau kepada hakim sebelum mengambil keputusan, harus selalu memikirkan kebaikan masa depan anak yang berhadapan dengan hukum tersebut, sebab anak yang berusia 8-15 tahun kelakuannya masih labil, masih mudah dipengaruhi oleh lingkungan/kawan sekitarnya dan belum bisa membedakan mana yang baik dan tidak baik.

"Ketua MA dalam pengarahannya di hadapan Ketua PT se-Indonesia antara lain menginstruksikan agar dalam peradilan anak, dalam menjatuhkan keputusan benar-benar harus diciptakan kebijakan dan kehati-hatian demi masa depan si anak nakal tersebut," ujar Mohammad Arief, SH. Untuk itu, dia mengimbau, agar kasus-kasus yang sifatnya merupakan kenakalan anak, agar jangan ditahan tapi dibebaskan, kalau memang karena kasusnya yang cukup berat dan menarik perhatian masyarakat serta demi keselamatan anak tersebut, penahanannya harus ditempatkan di tahanan anak (khusus anak-anak).

Remisi tahanan anak


Sementara itu, Wakil Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA) Mohammad Jhoni menyebutkan, saat ini Komnas PA sedang mengusulkan agar pemerintah mengeluarkan Keppres untuk memberikan remisi kepada tahanan anak pada setiap hari anak nasional. M. Jhoni mengatakan, ini bertujuan untuk mengurangi kepadatan Lapas anak dan menegakkan kepedulian pemerintah kepada masa depan anak yang berhadapan dengan hukum atau melanggar hukum.

Yang paling penting, tambahnya, dalam sistem peradilan anak harus mengembangkan substansi pasca penahanan anak bagaimana anak dibina. "Kita membutuhkan Diversi dan Restorasi Justice dalam peradilan anak sebagai upaya membangun peradilan yang ramah pada anak," tegasnya.
Share this article :

0 Komentar:

CARI

< Letakkan disini kode Shoutbox Anda>

Artikel Populer

 
Support : Creating Website | Ekhardhi Design | Ekhardhi Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2013. @ekhardhi - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Ekhardhi Design